"Jangan tanya dimana rasa nasionalisku, kalian tidak akan tahu seberapa beratnya hidup di tanah rantau saat dirundung rindu akan kampung halaman."
•••
Chapter 01
Dari Hujan Kita Saling MenemukanTentang sebuah negeri yang kata orang adalah cerminan dari surga. Tanah yang subur, matahari yang bersinar hangat sepanjang tahun, hujan yang datang membawa berkah. Tapi sayang mental para penduduknya telah di luluh lantahkan dengan pembodohan kolonialisme. Persetan dengan yang dikatakan kebebasan diri. karena nyatanya kebebasan hanya bisa didapatkan, ketika nyawa dan raga telah berpisah.
Surabaya, 1890. Aku bertahan di antara hidup mati. Bersimpuh dihadapan seorang jenderal belanda. badannya yang tinggi besar minginjak kedua kakiku dengan sepatu bootnya. Sakit, rasanya sendi ditanganku akan lepas. Aku lihat kilatan mata birunya di bawah tamaram lampu yang redup, begitu buas siap membunuhku kapan saja.
“jij en je mensen zijn ratten .” oloknya dengan kalimat yang tidak kumengerti. (kau dan bangsamu adalah tikus-tikus kotor). Kurasa ia sedang menghinaku dengan tatapannya yang begitu angkuh dan membanggakan kekuasaan. Badannya yang mulanya berdiri, kemudian berjongkok. Menaruh beban tubuhnya dikaki membuatku merintih menahan sakit. Kepalanya menyejajari kepalaku hingga aku bisa mencium aroma tubuhnya. Aroma keringat orang kulit putih yang tersengat matahari.
Kepala lelaki itu mendekat kearahku, bibirnya yang tipis dengan liar menyentuh leherku. Memberiku rangsangan yang begitu menyiksa. Disisi lain aku menahan sakitnya jemari tanganku, disisi yang lainnya lagi geli menyerang hingga membuat seluruh bulu dibadanku berdiri. Aku meneguk leherku, tidak membiarkan birahi menguasai diriku. Tak ada perlawanan yang bisa lakukan ketika tanganku berada di bawah telapak sepatu lelaki itu. tapi aku tidak hilang akal
Dukkkkkk
Aku membentur kepalaku ke kepala lelaki itu sekencang-kencangnya. Tentu saja itu membuat kepalaku pusing bukan kepayang. Aku hampir limbung, tetapi lelaki belanda itu menatapku murka. Dengan cepat ia menarik rambutku kebelakang, menjambak rambutku hingga badanku hampir melengkung kebelakang dan menyentuh telapak kaki.
“Onbezonnen, ga naar de hel teef” amuknya dengan murka.
Genggaman tangannya yang kuat dan berotot melayang dengan mulus di pipiku. Tanpa memindahkan kakinya yang menginjak tanganku, dan tangan kanannya menjambak rambutku. Jangan tanyakan sakitnya bagaimana, semakin banyak ia memukulku semakin aku menghirup aroma surga yang bercampur dengan amis darah yang keluar dari wajahku yang hampir hancur karena pukulannya.
Aku tahu aku akan mati ditangannya, tapi setidaknya aku mati dengan terhormat. Setidaknya aku menjaga harga diriku sebagai seorang wanita hingga akhir. Ia memukuliku seperti memukul karung goni yang diisi pasir. Berulang-ulang dan melupakan perasaan kemanusiaannya. Bukkkkkk, aku tidak tahu itu pukalan yang keberapa tapi kupikir itu adalah pukulannya yang terakhir dan sangat kencang. Sebelumnya akhirnya aku hilang dalam ketidak sadaran.
Apa rasanya kehidupan setelah kematian?
Perih, seluruh badanku yang memiliki luka terasa perih. Tapi disaat yang bersamaan, badanku terasa begitu ringan. Aku bahkan bisa menyentuh angin. Dalam hati aku senang, karena nyawaku telah berpisah dari ragaku. Itu artinya aku telah meninggalkan kesulitan hidup. Kubuka mataku berlahan, yang kulihat hanya karung goni putih yang menutup kepalaku..
Kucoba beberapa kali menyadarkan diriku sendiri. tidak-tidak aku tidak sedang menceritakan surga, karena dari karung goni itu aku bisa menerawang kearah luar. Angin yang kujelaskan tadi bukanlah udara melainkan air. Aku sedang berada didalam genangan air yang begitu deras, dengan kepala yang ditutup karung goni dan tangan yang terikat. Air itu membuatku kesulitan bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
A DAY IN THE PAST [HAI BOOK-1]
Historical FictionKisah masa lampau takkan pernah lekang oleh waktu. Gemanya mahsyur sampai ke telinga masa depan. Berbagai negara memiliki tintanya sendiri, menyebar dan tertuang ke dalam kertas kehidupan. Tertegun sang waktu saat menjadi saksi setiap kisah yang ber...