Athotis by Ssavilin

158 17 0
                                    

“Banyak orang yang lebih tidak tahu malu dari aku. Berselubung gaya terhormat tapi apa yang dilakukan lebih buruk dari seekor binatang. Menurutmu apa yang harus kita lakukan terhadap orang semacam itu?”

•••

Chapter 01

Memphis, ibu kota Mesir, sekitar tahun 3053 SM.

Malam telah lama tiba, hampir di seluruh kota telah terlelap dalam tidurnya. Terkecuali di pinggiran sebelah utara Memphis. Sudut kota itu masih terang-benderang dihiasi berbagai lentera. Hingar-bingar tempat ini telah tersohor ke berbagai negara. Siapapun yang datang, akan dapat menilai bahwa reputasi sebagai tempat hiburan nomor satu, bukanlah isapan jempol belaka. Jalanannya dipenuhi oleh orang yang menjual maupun mencari berbagai kenikmatan duniawi.

Sementara itu di ujung jalan kawasan itu terdapat sebuah kedai. Dari luar kedai, berbagai aroma mengeluar dari dalamnya. Bau anggur yang memabukkan bercampur dengan bau wewangian, asap dan keringat. Di suatu sudut di dalam kedai, duduk dua orang pria. Mereka terlihat sedang berbincang-bincang santai tanpa terganggu oleh riuhnya pengunjung kedai. Berapa guci anggur dan piring tergeletak di meja. Salah seorang dari mereka melemparkan pandangannya ke arah di sekilingnya lalu mengangkat tangan kanannya.

“Pelayan, tambahkan dua guci anggurmu yang terbaik.”

Segera setelah terdengar jawaban dari seseorang, pria itu mengalihkan perhatiannya  ke pria di hadapannya.

“Malam ini kita harus minum sampai mabuk. Aku ingin tahu apakah kemampuhan minummu masih seperti dahulu,” katanya sambil menyeringai lebar.

Pria di hadapannya hanya menatapnya sekilas sebelum melanjutkan minum anggur dari gelasnya.

“Kau masih saja penuh rasa penasaran, Amsi.”

“Athotis, kita sudah lama tidak bertemu. Berapa lama? Aku kira tujuh tahun?”

“Enam tahun satu bulan.” Athotis berbaik hati meralatnya.

“Ah ya, bagaimana keadaan paman dan bibiku tercinta?”

“Terakhir aku bertemu mereka, mereka terlihat baik-baik saja.”

“Dan terakhir kali kau bertemu mereka?”

“Kira-kira delapan bulan yang lalu,” jawabannya yang acuh tak acuh membuat Amsi terpana. Saat itu seorang pelayan wanita datang membawa dua guci anggur. Athotis tersenyum menatap pelayan itu dengan penuh makna. Amsi yang melihat itu hanya tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Kau masih belum berubah,” di matanya, di dunia ini ia adalah orang paling malas, sembrono, serampangan, tak bertanggung jawab dan tidak berguna. Belum lagi sifatnya yang licik dan mata keranjang. Sayangnya, ia juga orang paling beruntung yang pernah dia temui. Dikaruniai wajah tampan dan kepandaian ditambah dengan latar belakang yang luar biasa serta kekayaan yang seakan tak terbatas.

“Kenapa aku musti berubah?” Athotis kembali menyesap minumannya. Matanya menangkap sosok pria berbaju hitam berbalut bau harum nan samar, lewat di sampingnya lalu duduk di dekat tembok.

“Kau harusnya lebih serius menata masa depanmu. Apa kau tidak takut tersaingi oleh yang lain?” tanya Amsi dengan sorot mata prihatin sambil menyesap anggurnya.

“Masa depanku masih jauh. Yang penting sekarang, selama masih ada kesempatan, nikmati saja masa mudamu. Kau lihat saja ayahnda ku, sudah tak akan bisa berkutik, terkubur dalam pekerjaannya. Lagipula, apakah kau melihat ada orang lain yang sehebat aku?” ujarnya, tetap acuh tak acuh.

Amsi tertawa, “Kau benar. Lalu apakah kau akan kembali ke...”
Sebelum Amsi menyelesaikan pertanyaannya, seorang pria terdorong jatuh ke meja mereka. Setelah itu serombongan pria lainnya menangkap pria itu dan memukulinya. Athotis dengan santai mengangkat guci anggurnya yang baru dan berdiri menghindari perkelahian itu. Amsi mendekatinya, mereka berdiri santai bersandar di tembok. Ketika sedang menikmati perkelahian, terdengar suara dari arah samping mereka.

“Dan aku dengar, mereka menawarkan hadiah yang banyak untuk penangkap si pencuri kuda” kata seseorang. Terdengar nada suaranya seperti anak kecil.

“Tentu saja, Pasukan Kavaleri akan membiarkan mereka begitu saja” kali ini terdengar suara seperti suara seorang perempuan namun berat dan serak.

Athotis dan Amsi saling berpandangan mendengar percakapan mereka.
“Baiklah, besok kita akan mulai Penyelidikan. Kalau kita bisa menemukan para pencuri itu, maka kita bisa mencuri kuda-kuda itu dari mereka. Aku yakin, kuda-kuda itu pasti bernilai tinggi bila dijual. Ayo, kita pergi kembali ke penginapan. Besok kita akan menyeberang ke Athena” kata suara seperti perempuan itu lagi.

Athotis tersenyum geli mendengarnya, sementara alis Amsi berkerut dalam. Dilihatnya dua sosok pria melangkah keluar kedai. Keduanya berbadan pendek untuk ukuran pria dan berumur sekitar pertengahan belasan tahun. Yang seorang berbadan agak gemuk dan memakai baju berwarna coklat. Sedangkan yang seorang lagi berbadan kurus dan memakai baju hitam. Tiba-tiba saja Athotis merasa bosan. Ia memutuskan untuk keluar dari kedai. Ia melemparkan Sebuah kantung berisi deben kepada si Pelayan wanita yang menerimanya dengan terkesima dan berulang kali membungkuk berterima kasih ke arahnya. Amsi hanya menggelengkan kepalanya melihat hal itu. Saudara sekaligus teman semasa kecilnya ini memang mempergunakan uang seperti air. Amsi ingat, ketika mereka masih kecil, ayah Athotis yang adalah saudara sepupu ayahnya, memarahi Athotis dikarenakan hal yang sama. Namun sayangnya hal itu tidak merubah Athotis menjadi lebih bertanggung jawab, hingga sekarang ini.

“Apakah kau akan pulang?” tanya Amsi saat mereka sudah meninggalkan kedai.

“Aku akan menginap di rumah Chatha. Ayo, ikut aku. Kau belum menceritakan kepadaku apa yang kau lakukan selama enam tahun ini.”

“Baiklah.”

“Ehh.. Kau tunggu di sini sebentar. Aku mau.. Kau tahulah..”

“*Hufff*.. Baiklah.. Cepat.”

“Aku tidak akan lama,” kata Athotis sambil melangkah cepat ke arah gang yang sepi dan sempit. Di ujung gang, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya.

Setelah menunaikan hajatnya, Athotis kembali ke tempat di mana ia meninggalkan Amsi. Kemudian mereka berdua pergi menuju ke rumah Chatha.

Chatha adalah teman masa kecil mereka, namun mempunyai karier hebat di pemerintahan kota Memphis. Sudah menjadi kebiasaan mereka berdua menginap di rumah Chatha sesuka hati. Walaupun si Tuan Rumah kadang merasa enggan namun ia tidak akan berani menolak mereka. Ketika mereka tiba, tengah malam telah lewat. Penjaga rumah yang mengenali siapa mereka, mempersilakan mereka masuk dan membangunkan Chatha yang baru saja tertidur. Alhasil, Chatha pun terpaksa menyeret dirinya untuk bangun dan menyambut kedua temannya yang tak punya malu itu. Dan percakapan bergulir pada perkara pencurian kuda.

“Aku dengar dari temanku di Pasukan Kavaleri, kuda-kuda yang hilang adalah milik dari pedagang dari Mesopotamia. Kuda itu adalah kuda terbaik terlebih lagi karena mereka sedang sangat membutuhkan pasokan kuda, mereka sudah membayar sejumlah besar uang. Maka Pasukan Kavaleri tentu saja tidak akan menutup mata terhadap hal ini. Mereka sudah menyebarkan agen-agennya untuk menangkap pencuri itu. Kenapa?” tanya Chatha sambil berusaha menahan kantuk.

“Emm... aku hanya ingin tahu saja” jawab Athotis.

Amsi yang sedari tadi menahan kepalanya dengan tangan, hampir terjatuh mendengar jawaban itu.
Mengabaikan Amsi, Athotis melanjutkan,
“Panggil teman kavalerimu itu besok pagi. Aku ingin bertanya beberapa hal dengannya.”

Chatha hanya ternganga, Amsilah yang menanggapinya, “Hei, apakah kau tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan?”

“Anggap saja aku sedang bosan. Ayo kita tidur sekarang,” jawabnya sambil menguap lebar.

A DAY IN THE PAST [HAI BOOK-1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang