TIME | 2

132 11 0
                                    

1

Sebelum Flo sempat mengambil keputusan, tiba-tiba sesuatu yang gesit melompat dari balik semak. Membuat jantungnya kelonjotan tak karuan.

"Aaakkkkhhhh! Copot monyet lo kodok bencong!" teriak Flo sembari menutup mata rapat-rapat. Terima kasih, tapi Flo tidak mau saat-saat terakhirnya terasa lebih menyakitkan dengan melihat makhluk yang mungkin akan menerkam kemudian mencabiknya menjadi beberapa bagian.

Beberapa detik kemudian, tidak terjadi apapun. Lama-lama Flo penasaran juga sehingga perlahan ia membuka matanya.

Demi kuis dadakan pak Bambang!

Yang Flo dapati sungguh mengejutkan sekaligus melegakan. Ternyata sesuatu yang sedari tadi membuatnya panas dingin hanyalah seekor kelinci imut berwarna putih. Flo tertawa sumbang. Ia berjongkok untuk mengelus si kelinci yang menatapnya polos.

"Hai, untung lo imut ya, kalau enggak udah gue bawa terus jadiin sate kelinci buat sarapan besok," ucapnya asal. Meski Flo adalah pembenci tanah dan hutan nomor satu, ia adalah pecinta binatang. Terutama binatang imut dan berbulu seperti kelinci dan kucing. Saking cintanya, explore instagram Flo hanya berisi seputar hewan-hewan menggemaskan.

Suara yang berasal dari ponselnya membuat Flo menjengit kaget. Sial, baterai ponselnya sudah hampir habis. Ia harus segera kembali kalau tidak mau terjebak dalam hutan gelap yang mengerikan. Flo yang merasa ketakutannya kembali tumbuh, memilih untuk mendongak ke atas bersama kelinci di pangkuannya. Kerutan di dahi Flo muncul tatkala yang ia lihat bukan lagi gugusan bintang cantik, namun sebuah bulan penuh yang besar. Hanya itu. Ia bergidik ngeri. Flo sudah akan kembali ke tenda dengan membawa kelinci sebagai teman perjalanannya untuk mengurangi rasa takut, akan tetapi kelinci imut tersebut malah melompat ke bawah dan kembali ke semak.

Aih, sialan.

Flo memilih berjalan kembali menuju tenda perkemahan. Kali ini fokusnya tidak seperti tadi. Pandangannya bolak-balik ke kiri dan kanan lalu ke belakang. Ada yang ganjal dengan malam ini, entah itu karena sirnanya gugusan bintang dan digantikan oleh bulan yang menyiramkan sinar mistisnya ke hutan atau perasaannya yang sedari tadi merasa ada sesuatu dari balik pohon yang memperhatikannya.

Kraak.

Flo melebarkan matanya saat mendengar bunyi aneh. Suaranya keras dan besar. Mustahil binatang kecil seperti kelinci mampu menciptakannya. Flo mempercepat langkah bersamaan dengan bunyi ponsel yang menunjukkan kalau baterai tinggal tiga persen. Tangan Flo gemetaran. Kakinya yang semula hanya berjalan cepat, kini mulai berlari. Degup jangtungnya semakin terpacu tatkala mendengar berderap-derap langkah yang mengimbanginya. Berkali-kali ia terjerembab ke depan dan mencium daun kering yang berguguran. Flo sudah tidak peduli dengan lecet di tubuhnya. Kemudian mimpi buruk menghantui Flo, ponsel yang sedari tadi ia genggam erat bergetar bersamaan dengan matinya flash yang menjadi satu-satunya penerangan di tengah hutan ini.

Menggunakan penerangan saja sulit apalagi dengan keadaan gelap gulita seperti ini. Tubuh Flo bergetar hebat. Kini ia sudah menangis dalam larinya. Tidak peduli akar-akar yang mencuat dan menggores betisnya hingga berdarah, Flo tetap berlari.

Ketika hampir sampai di perkemahan, samar-samar ia mendengar suara jeritan dan tawa besar. Kepanikannya bertambah berkali lipat mengingat Ana masih berada dalam tendanya. Flo sudah tidak kuat, dadanya panas dan seperti akan meledak.

Lari.

Lari.

Terus berlari.

Kemudian grab.

Sebuah tangan menarik Flo ke balik pohon terdekat dari perkemahan hingga ia berakhir dalam posisi duduk di balik pohon. Sebelum Flo sempat berteriak, dengan sigap dia menutup mulut Flo dengan tangannya sambil berjongkok di depan Flo. Matanya mengawasi peristiwa di balik pohon, peristiwa pembantaian mengerikan. Yang tersisa hanya suara gumaman tidak jelas serta jeritan para penghuni tenda diiringi orkestra alami hutan yang terasa pilu. Flo meronta tapi sia-sia. Tenaganya kalah jauh kalau dibandingkan dengan cowok itu.

Time for the Moon NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang