7. Appeal

137 8 0
                                    

Luna merasa tenggorokannya kering ketika bangun tidur. Ia membuka selimut dan menurunkan kakinya dari atas ranjang. Pandangannya beralih pada nakas di samping tempat tidur. Ada segelas minuman di sana. Itu yang Luna butuhkan saat ini. Tangannya meraih gelas tersebut lalu meminum cairan yang ada di dalamnya hingga tandas.

Gadis itu masih belum sadar sepenuhnya. Lalu ketika cairan tersebut mulai masuk melewati tenggorokannya, kesadaran itu perlahan-lahan pulih. Sekelilingnya masih tampak gelap. Suara bising kipas angin kecil yamg selalu menemaninya di kala bangun tidur kali ini tidak terdengar, namun suhu udara di ruangan ini benar-benar terasa dingin menusuk kulitnya.

Clap.

Lampu tidur yang ada di atas nakas sebelah kanan ranjang mati. Menyisahkan lampu tidur di nakas sebelahnya. Bulu-bulu yang ada di sekitar area tengkuk Luna meremang. Agak kaget ketika tiba-tiba lampu tidur mati sendiri. Mirip di scene-scene  film horror yang biasanya di tonton oleh sahabat karibnya, Ghia.

Tunggu dulu.

Sejak kapan kamar kostannya memiliki lampu tidur? Dan juga, kenapa ruangan ini sangat gelap? Luna tidak pernah mematikan lampu saat tidur. Ia takut gelap. Hidupnya sudah gelap, maka dari itu, Ia tidak mau membuat mimpinya ikut-ikutan gelap. Hey, benar bukan. Bukankah ketika tertidur kita akan bermimpi. Tapi kadang, tanpa tidur pun bisa tetap bermimpi. Tapi sebaiknya, bermimpilah sepuasnya ketika lelap, agar dikala bangun, kau tidak bermimpi lagi, melainkan mewujudkan mimpimu itu menjadi kenyataan.

Decitan halus di belakangnya menyentak lamunan Luna. Agak ragu, Ia memutar kepalanya kebelakang. Lalu kedua matanya menangkap siluet seorang manusia tengah bersandar di kepala ranjang sambil menggaruk kepala kebingungan.
Terkejut adalah apa yang sedang Luna rasakan saat ini. Matanya membulat sempurna. Jantungnya bahkan sampai berdebar dua kali lipat lebih cepat dari sebelumnya.

Di sana, laki-laki yang selama ini setia bersemayam di ingatannya tengah menggaruk kepala. Luna menepuk-nepuk pipinya. Merasa harus membuktikan bahwa yang di hadapannya kini adalah nyata, bukan mimpi fana, yang terkadang sering membuat ia lupa. Lupa caranya kembali ke realita.

Terpaku di tempatnya, gadis itu mencoba mencerna kejadian yang ada.

Ini bukan kamar kostnya. Lalu tiba-tiba ada Dirga di ranjang sebelah. Rasa sakit yang ditimbulkan oleh tepukan tangan di pipinya tadi juga membuktikan kalau ia juga tidak mengalami halu semata. Lalu di mana dia sekarang? Kenapa bisa dia berada di sini.  Pelan tapi pasti, Luna mulai mendekatkan tubuhnya. Memastikan sekali lagi kalau ia tidak menghayal di pagi buta.

Bagi gadis remaja dan emosi fluktuatifnya, menyaksikan dengan jelas maha karya sang pencipta di wajah pujaan adalah sebuah anugerah terindah. Mata gadis itu berkilat menatap wajah di depannya. Tangan kanannya mulai menyusuri setiap lekuk yang ada. Dimulai dari alis, tulang hidung yang mirip perosotan anak TK, bibir yang terkatup tanpa suara. Ah bibir itu.

"Dirga."

Lalu tanpa dapat di cegah, Luna menempelkan bibirnya ke sana. Deru nafas memburu menyapu lehernya. Sialan, libidonya naik tanpa perintah. Ini seperti khayalan-khayalannya selama ini. Tubuh merapat dalam dekap sebuah tangan hangat. Bercumbu dalam gelap.

Double sialan!

Luna tak bisa mengontrol tubuhnya. Kenapa lelaki di depannya ini makin menggila dengan ciumannya. Demi tuhan, Luna sudah tidak tahan. Ada rasa panas yang menjalar tiba-tiba di tubuhnya. Maka dari itu, ia segera melepaskan satu persatu kancing kemeja yang di kenakan Dirga. Menatap dada bidang juga perut kotak-kotak berotot tak pernah terasa se menyenangkan ini. Dan yah, jari nakalnya mulai membabi buta membelai suguhan di depannya. Erangan samar terdengar, dan entah bagaimana bisa, hasratnya semakin gencar minta di lepaskan.

"Please!"

Dirga menghentikan gerakannya. Menatap sendu wajah gadis di depannya yang terlihat memohon kepadanya.

Erangan kesakitan karena gairah yang sudah di ujung tanduk membuat Dirga tidak tega. Maka sedetik setelahnya, Dirga langsung menyambar kembali bibir gadis di depannya.

Setan-setan yang ada di ruangan ini bersorak gembira. Menyaksikan kekhilafan dua anak Adam yang terlihat sarat akan gairah. Dan dua anak Adam itu tidak pernah sadar, bahwasanya minuman yang di minum oleh Luna tadi sudah bercampur dengan obat perangsang yang membuat kekhilafan hakikih terjadi tanpa dapat di cegah. Lalu Dirga yang tadi hanya diam saja. Tentu dia akan diam ketika gadis masa lalunya duduk di depannya tanpa sehelai benang yang melekat di tubuh. Siapa yang tidak terkejut?

Dirga fikir ini hanya mimpi belaka, tapi ketika bibir yang tanpa ada yang tahu selalu ia damba tiba-tiba menciumnya membuat kewarasannya sirna. Ia sudah tidak dapat berpikir jernih saat itu. Imannya kalah. Di kepung hormon testosteron remaja sialannya.

Mereka berdua di jebak.

****

Pergumulan yang terjadi  beberapa jam yang lalu tak cukup melelahkan untuk membuat Dirga langsung terlelap. Tak seperti Luna yang langsung tertidur ketika selesai mencapai puncak gairah, Dirga memilih tetap terjaga. Merenung dengan apa yang baru saja ia lakukan terhadap gadis masa lalunya. Ia mengambilnya. Oh sial! Mahkota berharga milik Luna telah hilang akibat nafsu liarnya. Tidak bisa di pungkiri bahwa Dirga merasakan euforia ketika menemukan bercak darah menempel di sprei putih di bawahnya. Ia yang pertama.

Dirga bangkit. Berjalan ke arah jendela yang tertutup gorden lalu membukanya, membuat sinar matahari dapat masuk sepenuhnya. Kemarin malam, ia terpaksa meninggalkan keramaian pesta karena Dirga merasakan ke anehan di tubuhnya, berjalan ke parkiran dan ada seseorang yang tiba-tiba membekapnya dari belakang. Lalu semua gelap. Dan entahlah, kenapa dia bisa berada di dalam kamar yang sama dengan Luna.

Ia akan bertanggung jawab. Dirga mengaku salah. Memanfaatkan situasi demi kepuasan semata.
Perbuatan penuh dosa yang ia lakukan tadi cepat atau lambat pasti akan membuahkan hasil di rahim Luna.

Mereka melakukannya dengan penuh gairah yang menggebu. Tanpa pengaman. Tanpa halangan.

Dirga mengacak rambutnya frustasi. Penyesalan perlahan-lahan menghampirinya.

Menarik nafas panjang, Dirga kembali menghampiri gadis yang masih terlelap di atas ranjang. Membenarkan posisi selimut yang menutupi tubuh polos gadis itu lalu menunduk. Menyaksikan lebih dekat wajah si gadis yang nampak damai dalam tidurnya. Oh tidak, Luna sudah tidak gadis lagi. Dirga sudah merenggutnya.

"Maaf," gumamnya pelan.

Setelah itu, ia berniat mencari ponselnya. Di mana benda itu? Pasti orang tuanya cemas mencarinya saat ini.









NIKAH MUDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang