Terik matahari sungguh menyengat. Luhan sangat membenci musim panas terlebih di pukul sebelas saat matahari bersinar dengan maksimal. Luhan harus merelakan pakaiannya basah ataupun surainya menjadi lembab dan bau. Tapi ia juga tidak bisa pergi untuk pulang dengan menaiki taksi karena sopir pribadinya pasti sudah di perjalanan untuk menjemput. Bagaimanapun Luhan masih memiliki hati nurani untuk tidak menyia-nyiakan kerja keras Tuan Lee untuk menjemputnya dalam waktu yang tepat.
Luhan masih berdiri di depan gerbang dengan peluh yang mulai keluar dari kelenjar keringatnya, hingga sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Tanpa melihat sang pengemudi, Luhan sudah tahu siapa pemilik mobil mewah ini. Luhan sudah sering menaikinya dan ia sama sekali tidak berminat untuk menaikinya lagi di waktu sekarang.
"Masuklah!"
Oh Sehun, pria itu masih tampak datar seperti biasa. Tidak ada senyuman seperti yang biasanya ia torehkan ketika berada di sekitar teman-temannya. Tatapan mata elangnya mengarah ke Luhan dan selalu berhasil memberantakkan kinerja jantung Luhan menjadi berdebar tidak karuan. Jika sebelumnya Luhan sangat menyukai sensasi detakan jantungnya yang tidak normal, namun tidak untuk sekarang. Ia tidak ingin merasakan hal itu setidaknya untuk saat ini, meskipun tanpa diperintah jantungnya tetap saja berdebar. Luhan menunjukkan ekspresi yang sama tidak bersahabatnya dengan Sehun, terlihat dari tubuhnya yang tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya berdiri untuk melakukan perintah Sehun.
"Sampai kapan kau berdiri disana?", tanya Sehun melihat Luhan yang tidak kunjung memasuki mobilnya. Pertanyaan Sehun dijawab dengan gerakan kaki Luhan yang melangkah, namun tidak memasuki mobil Sehun melainkan ke arah mobil yang dikemudikan Tuan Lee yang baru saja tiba.
"Xi Luhan!" Sehun melakukan hal yang sama seperti tadi pagi. Tangannya mencengkeram lengan Luhan hingga mampu menghentikan langkah panjang Luhan dalam sekali sentakan. Namun Luhan menyentak tangan Sehun di lengannya hingga terlepas, lalu berjalan kembali dan Sehun tidak membiarkan Luhan pergi begitu saja. Sehun sudah memutuskan untuk membicarakan sesuatu hal penting dengan Luhan, itulah yang membawanya kemari untuk menemui Luhan dan menyelesaikan semuanya tanpa perlu menundanya lagi.
Selesai? Apa maksudmu menyelesaikan perjodohan kalian, Oh Sehun? Bukankah sepanjang jam kantor pikiranmu hanya dipenuhi oleh ucapan Luhan yang ingin mengakhiri perjodohan? Katakan saja kalau kau tidak ingin Luhan melakukan ucapannya! Batinnya berbicara dan Sehun menggeram kesal. Tidak tahu bagaimana bisa kata batinnya sangat kontras dengan isi pikirannya.
"Katakan apa maumu." Luhan memandang lengannya dan Sehun segera melepas cengkramannya.
"Kita bicara. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan padamu."
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Bagiku kita sudah tidak ada hubungan apapun!" Luhan mencoba bertahan dan seharusnya Sehun sedikit peka dengan getaran di suara Luhan. Tapi nyatanya, Sehun tidak perduli karena fokusnya hanya pada ucapan Luhan barusan.
"Apa maksudmu?"
"Kurasa kau cukup paham karena aku juga mengatakan hal yang sama tadi pagi." Setelah sempat menunduk untuk mengumpulkan kepercayaan diri yang melayang entah kemana, Luhan mendongak. "Aku ingin kita berakhir. Tidak ada perjodohan, pertunangan, bahkan pernikahan seperti yang diinginkan orangtua kita."
Mata Sehun menajam, ingin tahu darimana Luhan mendapatkan keberanian untuk mengatakan hal itu.
"Kau egois, Xi Luhan.", ucapnya dalam nada rendah.
Luhan merasakan oksigen berhenti mengelilinginya. Paru-parunya menyesak dan butiran air mata sukses meluncur deras di kedua pipinya. Luhan sudah sering mendapat ucapan pedas dari Sehun, namun entah kenapa, kali ini Luhan sudah muak. Muak mengetahui Sehun sangat detail dengan kekurangannya sementara tidak ada satu kebaikan Luhan yang ia ingat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A CHANCE [HUNHAN edited ver.]
RomanceBagi Oh Sehun, Xi Luhan adalah gadis manja dan kekanakan. Namun kenyataannya Luhan jauh lebih kuat dan mandiri dibandingkan apa yang Sehun bayangkan di kepalanya. Kenyataan terungkap, menyakitkan dan menciptakan penyesalan. Apakah sebuah kesempatan...