Eight [Kemana Luhan?]

700 66 3
                                    

Satu minggu telah berlalu. Semuanya perlahan berjalan normal kembali seperti sedia kala. Tidak ada yang berusaha membahas kecelakaan tragis ataupun kematian dua orang yang berharga bagi seluruh penghuni rumah mewah itu. 

Semuanya selesai, tepat ketika prosesi pemakaman berlangsung dan berakhir khidmat dengan dua gundukan tanah basah. Segala kesedihan dan tangisan sudah ditumpahkan di sana, mengiringi pemakaman hingga berakhir dengan kelopak bunga mawar putih yang bertebaran di sekitar dua makam yang berdampingan.

Yixing sudah mulai masuk sekolah kembali dan pelayan Seo juga kembali bertugas untuk memberi instruksi kepada pelayan-pelayan lainnya seperti hari biasanya. Hampir semuanya berjalan normal, kecuali sesosok gadis bertubuh mungil yang keluar dari kamar dengan penampilan yang siap pergi tapi dihiasi dengan kantung mata tebal dan wajah mendung dari kamarnya dan menduduki kursi makan. Mengambil setangkup roti gandum dan segelas susu putih. Dua hari ini Luhan memang memaksakan diri untuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya, setelah satu minggu ia berhasil menurunkan berat badannya drastis tanpa sengaja akibat pola makan yang tidak terurus. Ia selalu tidak mampu menelan makanan ketika bayangan keluarganya tengah makan bersama memasuki pikirannya tanpa diperintah.

"Noona, kau tidak apa-apa?",tanya Yixing. Pertanyaan yang sama setiap Luhan mendatangi meja makan dengan kondisi yang jauh dari kata baik-baik saja. Yixing tentu memahami perasaan kakaknya, karena ia juga mengalami hal serupa. Namun melihat kondisi sang kakak yang masih terpuruk, tak jarang Yixing merasa khawatir dengan kondisi kakaknya. Takut-takut Luhan akan jatuh sakit jika terus memikirkan sesuatu yang seharusnya sudah dilupakan.

"Noona tidak apa-apa." Luhan menggigit rotinya satu kali tanpa repot-repot menambahkan selai cokelat kesukaannya disana. Ditambah satu tegukan susu, Luhan rasa cukup untuk menjadi sumber energinya hari ini walaupun dia tidak menikmatinya sama sekali.

"Noona harus berangkat."

Luhan menyambar tasnya, sekilas mengusak rambut Yixing dan cepat-cepat pergi, sampai sempat ditanyai Pelayan Seo tentang kepergiannya yang terburu-buru. Ia hanya tersenyum tipis tanpa menjawab dan melesak memasuki pintu jok pengemudi mobil.

"Nona sudah mau pergi? Akan saya antar.", tanya Pak Lee yang melihat Luhan memasuki mobil dan sibuk dengan ponselnya.

"Tidak usah Pak Lee. Aku bisa mengemudi sendiri. Lagipula urusanku tidak lama, kok!" Luhan tersenyum untuk meyakinkan Pak Lee.

"Nona yakin?"

"Tentu. Aku sudah memiliki lisensi. Jadi Pak Lee tenang saja."

Selanjutnya Pak Lee tidak bertanya lagi dan berpamitan untuk kembali mengurusi beberapa hal sebab tugasnya bukan hanya menjadi sopir pribadi Luhan.

Ponselnya berdering untuk ketiga kalinya dan Luhan baru mengangkatnya setelah sebelumnya mendapat interupsi dari Pak Lee. Ia tidak ingin siapapun tahu tentang kemana dirinya akan pergi, termasuk siapa penelpon yang tidak lelah untuk menghubungi nomor ponselnya.

"Hallo?"

"..."

"Aku segera kesana."

"..."

"Ya. Aku tahu."

Klik!

...

Hari senin. Tidak banyak orang yang menyukai hari itu ditambah dengan cuaca panas yang menyambut sejak pagi. Sehun salah satu pria yang membenci hari ini, meski lebih tepatnya membenci setiap waktu ketika dirinya menjadi Oh Sehun yang bernafas dengan rasa bersalah menemani oksigennya.

"Kau terlihat sangat mengerikan, kau tahu?"

Sehun mendongak dari jendela lebar di sisi kirinya, menaruh perhatian sebentar pada dua buah botol kecil yang disodorkan di atas meja kerjanya. Matanya lalu bergulir ke arah pria berkacamata bening yang kini menduduki sofa di sudut ruangan kerja Sehun yang luas.

A CHANCE [HUNHAN edited ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang