Ada apa sih dengan umur 26 tahun
Dan belum menikah?-Kanya Maisa Putri-
Sebelum memutuskan untuk benar-benar menjadi seorang penulis, dulu aku pernah bekerja di sebuah perusahaan farmasi, sebagai medical representative. Kerjanya ya gitu, kayak sales yang menawarkan produk obat-obatan perusahaan kita ke dokter-dokter dan rumah sakit. Menjadi seorang Medrep itu tidak mudah, kerjanya ditarget, belum lagi harus melobi para dokter, jam kerjanya tidak menentu. Setiap hari aku harus pulang tengah malam, demi menunggu dokter selesai praktik. Mendekati dokter juga tidak mudah, banyak karakter dokter yang aku temui saat itu.
Intinya melelahkan bekerja di sana, walaupun bonusnya bisa tiga kali gaji. Cukup lama aku bekerja di sana, sekitar empat tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani profesi menjadi penulis. Aku punya gaji bulanan dari royaltiku di salah satu penerbit indie tempat beberapa bukuku terbit. Jadi walaupun hanya di rumah dan menulis aku tetap punya penghasilan, dan royalti enam bulanan dari bukuku yang lain anggap saja bonusku. Walaupun banyak keluargaku yang mengeluhkan kenapa aku harus berhenti bekerja, tetapi aku merasa ini pilihan yang tepat, aku lebih bisa menikmati hidup. Walau tidak menutup kemungkinan kedepannya aku akan bekerja lagi.
Aku bangga dengan pekerjaanku sekarang karena walau kelihatannya tidak seperti bekerja, uangnya lumayan untuk menutupi semua kebutuhanku. Aku tidak perlu dipusingkan dengan teriakan atasan yang memintaku mengejar target, tidak perlu lagi pulang malam hari, dan terkantuk-kantuk di depan ruang praktik dokter hanya untuk menawarkan obat.
"Kamu beneran nggak mau masuk kerja lagi?" tanya Mas Ajie, dia dulu atasanku di kantor, saat ini sedang mencari Medrep lain karena ada yang resign. Dia sengaja mengajakku bertemu di SoMa, salah satu mal di Palembang, bersama dengan Mbak Rizka temanku sesama Medrep dulu.
"Nggak lah Mas, makasih. Aku lebih nyaman jadi penulis," tolakku halus.
"Emang gaji penulis cukup gitu?" tanyanya ada nada meremehkan yang aku tangkap.
"Alhamdulillah cukup kalau untuk biaya hidup, kalau untuk gaya hidup apapun kerjaannya nggak bakal cukup sih," jawabku.
"Tapi kalau kerja, kamu ada pergaulan lho, Nya," timpal Mbak Rizka.
Aku menoleh padanya. "Emang jadi penulis nggak ada pergaulan, Mbak? Aku punya banyak temen kok," kataku santai sambil mencolekkan bengkuang pada bumbu rujak.
"Ya kamu kan tiap hari ngelihatin laptop mulu kapan gaulnya sama temen-temen? Nanti kamu nggak dapet jodoh, lho."
Dikatakan oleh seorang perempuan berumur 40 tahun dan belum menikah. Aku hanya menyunggingkan senyum tipis. "Jodoh udah ada yang ngatur, Mbak."
Mbak Rizka diam, lalu menoleh pada Mas Ajie. "Kalian berdua kan sama-sama belum punya pacar, kenapa nggak pacaran aja?" kata Mbak Rizka tiba-tiba.
Aku tidak kaget lagi sih, dengan hal semacam ini dijodoh-jodohkan dengan Mas Ajie sudah sering dilakukan oleh teman kantorku saat aku masih bekerja dulu. "Yeee... nggak ah, Mas Ajie banyak cabe-cabeannya, ngeri aku tuh."
Mas Ajie tertawa. "Cabe-cabean dari mana?" tanyanya. Mas Ajie ini berkulit sawo mateng, wajahnya ya nggak bisa dibilang ganteng, biasa aja. Menarik? Nggak terlalu, cuma dia selalu terlihat rapi saja dalam setiap kesempatan. Agak-agak metroseksual gitu lah.
"Tuh yang sering nonton bareng."
"Cie, cemburu kamu?" tuduhnya.
Aku mendengus. "Nggak lah." Aku menyesap jus sirsak tanpa gula milikku. Sudah lima bulan terakhir ini aku menerapkan pola hidup sehat, selain untuk menjaga tubuhku agar lemaknya tidak meleber kemana-mana, juga agar aku lebih sehat saja. Aku kesal kalau orang sekitarku sudah bilang, masih gadis tapi badan sudah seperti emak-emak anak tiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm A Dreamer
ChickLitKanya Maisa Putri, seorang penulis yang melejit saat mengunggah tulisannya di aplikasi Skywrite. Lika-liku menjadi seorang penulis dilakoni oleh Kanya, masalah dengan para pembacanya, ketakutannya kalau buku yang dia tulis tidak laku, belum lagi keb...