a fresh lemon sorbet

2K 501 25
                                    

—In which Hyunjin pays for Seungmin's books

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

In which Hyunjin pays for Seungmin's books.

Waktu sepertinya berlari agak terburu-buru, atau mungkin malah terbang dengan kecepatan maksimum melintasi angkasa. Semester kedua dari tahun pertama di sekolah menengah atas telah tiba, seolah tak membiarkan para murid untuk bernapas sejenak selepas liburan musim panas yang kurang lebih berlangsung selama sebulan.

September menyapa dunia dan musim gugur juga sudah mengintip dari balik pepohonan yang daunnya mulai menguning. Dalam perjalanan menuju halte bus, Hwang Hyunjin menyempatkan diri untuk menguji coba kamera barunya dengan mengambil beberapa gambar pepohonan itu. Kamera tersebut ia dapat dari hasil tabungannya sendiri, tentu saja Hyunjin sangat bangga dan senang dengan pencapaian itu. Bisa dikatakan suasana hati si landak itu sangat baik hari ini, ia bahkan sudah berencana untuk mendaftar ke klub fotografi.

Ya, seorang Hwang Hyunjin yang biasanya tidak suka berinteraksi dengan sesama manusia memutuskan untuk merangkak keluar dari istana esnya dan bergabung ke dalam organisasi. Kata merangkak di sini bermaksud menjelaskan progresi Hyunjin dalam berinteraksi sosial. Merangkak perlahan-lahan seperti bayi yang baru belajar berjalan.

Hari ini juga, ia harus membeli beberapa buku pelajaran baru untuk semester kedua. Maka begitu menginjakkan kaki di sekolah, tujuan pertama Hyunjin adalah loket pembayaran buku yang terletak di dekat ruang tata usaha.

Semasa sekolah di Seoul, sekolahnya lebih banyak menggunakan digital hand-out daripada buku fisik, hingga tasnya terasa begitu ringan. Kini Hyunjin harus membiasakan diri lagi dengan beban buku-buku pelajaran di dalam ranselnya, meskipun ia memang lebih menyukai buku fisik dibandingkan buku digital. Buku fisik memiliki nilai tersendiri bagi Hyunjin, baik buku pelajaran atau novel-novel kesukaannya.

"Kamu sekelas sama siswa Kim Seungmin kan?" Wanita paruh baya yang menjaga loket pembayaran buku itu melontarkan pertanyaan tentang Seungmin sembari mencatat pembayaran Hyunjin.

"Iya bu," jawab Hyunjin singkat, padahal dalam hati ia bertanya-tanya juga mengapa wanita ini menyebut nama Kim Seungmin. Ada apa? Apa Seungmin ada masalah dengan sekolah?

"Tolong sampaikan pada Kim Seungmin, dia harus melunasi buku secepatnya. Soalnya bukunya sudah diambil."

Ah benar, pasti masalah keuangan. Walau tidak pernah bertanya langsung pada Seungmin, Hyunjin sering memperhatikan bagaimana laki-laki itu jarang sekali meninggalkan kelas sewaktu istirahat makan siang karena tidak bisa membeli makan siang dengan recehan di sakunya. Seungmin kadang membawa bekal, kadang hanya minum sekotak kecil susu cokelat yang pastinya tidak bisa menahan lapar.

Sepatu sekolah yang dipakai Seungmin sudah hampir pudar warna hitamnya dan bagian putihnya juga sudah tak putih lagi. Jangan lupakan sepeda tuanya itu. Hyunjin juga pernah melihat temannya itu menulis catatan uang bulanan, seringnya dengan wajah kusut dan serangkaian helaan napas berat. Usia mereka sama, namun dunia sepertinya memaksa Kim Seungmin yang masih enambelas tahun kala itu untuk menjadi dewasa terlalu cepat. Hyunjin mana tahu kesulitan seperti apa yang dirasakan oleh Seungmin dalam mencoba bertahan hidup dari hari ke hari, sejak kecil ia termasuk beruntung dalam urusan finansial.

Dalam hidup setiap orang memang punya masalah dan rintangan masing-masing. Jika permasalahan Hyunjin terletak pada keluarganya, maka permasalahan Seungmin adalah kondisi ekonomi yang terbatas. Tidak bisa dibandingkan siapa yang memiliki masalah lebih berat, keduanya memiliki tingkat pertahanan mental yang berbeda.

Kembali pada masalah buku, sebuah ide untuk melunasi utang Seungmin menyinggahi kepala Hyunjin. Ia tidak yakin apakah mencampuri urusan temannya seperti ini adalah tindakan yang benar, tapi niatnya adalah ingin membantu. Ia peduli pada Seungmin, meski tak pernah ditunjukkan secara eksplisit. Caranya dalam memedulikan orang lain memang tidak bertabur gula dan selembut permen kapas, tapi perasaannya sama tulusnya.

"Seungmin menitipkan uangnya sama saya kok, kalau saya yang mewakili boleh?" Tanya Hyunjin, kembali mengeluarkan dompetnya dari kantung bagian tengah tas ranselnya.

"Boleh. Memangnya Kim Seungmin ke mana? Sebentar ya, saya buatkan tanda terima baru."

Hyunjin tak menjawab lagi, ia menunggu wanita penjaga loket tadi membuatkan tanda terima tersebut sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan tata usaha dan mengetukkan sepatunya ke lantai ubin di bawah seakan tak sabaran. Setelah mendapat tanda terima dan menyelesaikan transaksi pembayarannya, Hyunjin mengucapkan terima kasih lalu beranjak meninggalkan ruangan itu.

Sepanjang jalan menyusuri koridor menuju kelasnya, banyak sekali kakak kelas perempuan yang diam-diam memperhatikannya sambil terkikik. Baru-baru ini sejak sering meninggalkan ruang kelas bersama Felix, Hyunjin jadi mendapatkan sejumlah atensi dari senior-senior perempuan. Kata Felix, itu mungkin faktor wajah rupawannya. Entahlah, tapi Hyunjin belum merasa terlalu terganggu dengan segala perhatian yang didapatkannya. Selama mereka tidak mengganggu ketenangan hidupnya maka tak masalah.

Sampai di kelas, matanya langsung mencari sosok Kim Seungmin. Seperti biasa di tengah hiruk pikuk suara obrolan yang campur aduk di dalam kelas dan kelakuan remaja-remaja yang agak liar, Seungmin duduk tenang di bangkunya, mengerjakan sesuatu di buku catatannya.

Tanpa menyapa atau sekadar memanggil nama Seungmin, Hyunjin duduk begitu saja di sebelahnya, meletakkan kertas tanda terima tadi di atas meja tepat di depan Seungmin. Kelihatan agak bingung, Seungmin mengambil kertas itu dan menoleh memandangi Hyunjin sebelum membaca tulisannya.

"Ini apa?" Tanya Seungmin.

"Baca aja tulisannya," jawab Hyunjin datar.

"Lo bayarin buku-buku gue?" Seungmin meminta konfirmasi setelah membaca baik-baik isi tanda terima itu.

Ada percampuran berbagai emosi dalam hati Seungmin saat ini yang terlalu rumit untuk dijelaskan dalam kata-kata. Marah, mungkin. Kecewa? Ah bukan, bagaimana kau menyebutnya, ketika perasaan rendah diri itu sudah sampai pada dasar terdalam, dan seseorang memberimu bantuan. Melainkan senang, kau malah terluka. Terluka karena bantuan tersebut malah membuatmu merasa semakin tak berguna. Ditambah rasa tidak enak karena merepotkan orang lain. Semua itu entah bagaimana jika dicampur aduk menjadi satu dan diekspresikan, hasil akhirnya seperti kemarahan.

Terlebih Hyunjin tidak sama sekali bertanya padanya sebelum bertindak.

"Gak apa-apa kan? Gue pengen bantu lo," kata Hyunjin, kedua matanya mengamati air muka Seungmin yang tampak muram.

"Thank you but you don't need to do that Hwang Hyunjin."

Seungmin meremas kertas tanda terima tadi hingga kusut dan menjatuhkannya kembali ke meja. Diam. Percakapan mereka terhenti di situ. Seungmin kembali sibuk dengan buku dan penanya, sementara Hyunjin di sebelahnya mulai merasakan perasaan tidak enak merayapi dirinya.

Ada yang salah ketika Kim Seungmin tidak tersenyum ramah padanya, atau tidak mengajaknya bicara. Sikap tak acuh dan wajah masamnya itu, semua itu bukan Kim Seungmin yang ia tahu. Seketika udara di sekitarnya terasa menurun sekian derajat. Hyunjin pun mendapat sebuah kesimpulan:

Kim Seungmin sedang marah padanya.

lemon🍋boy

LEMON BOY #1 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang