Bagian 1.2 I'am pragnant

59 2 0
                                    

Sepasang suami istri terlihat sedang berjalan di koridor rumah sakit ibu dan anak. Sesekali terdengar tawa di tengah-tengah obrolan mereka. Hari ini adalah jadwal terakhir kontrol sebelum persalinan, menurut dokter paling lama satu minggu kedepan sang jabang bayi harus segera di lahirkan. Karena tanggal perkiraan sudah lewat, jadi persalinan tidak bisa di tunda lagi.

Sepasang Suami istri itu adalah Afifah dan Hanif. Setelah obrolan pagi itu Afifah segera memeriksakan diri ke dokter, dan Afifah di nyatakan positif hamil 6 minggu. Kehamilan Afifah kini memasuki usia 40 minggu, sudah telat dari hari perkiraan. Dokter menyarankan untuk menunggu seminggu lagi kalau belum lahir juga terpaksa di induksi atau operasi secar.

"Mas..."
"Ia sayang"
"Aku takut", ucapnya dengan lirih, tersirat kecemasan di raut wajahnya.
"Takut itu wajar sayang, apa lagi ini adalah pengalaman pertama. Yang penting kita sudah berikhtiar semaksimal mungkin. Perbanyak doa dan juga dzikir sayang. Insya Allah hatimu akan lebih tenang."
" Iya Mas, mudah-mudahan persalinannya nanti lancar. Afifah berharap tidak sampai di Induksi apalagi operasi. Afifah dengar dari ibu-ibu yang uda berpengalaman, induksi itu sakitnya 3 kali lipat lho mas, apalagi operasi. Memang waktu lahirannya gak sakit tapi setelahnya baru terasa sakit banget dan bisa sampai bertahun-tahun sakitnya. Afifah dengarnya saja sudah ngilu Mas." Afifah bercerita panjang lebar, jelas sekali terdengar nada takut dan juga cemas di dalamnya.
Hanif hanya diam mendengarkan istrinya itu tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh ia ingin berkata sesuatu tapi bibirnya terasa kelu, ia juga sama cemasnya. Mendengar penjelasan dokter di ruangan tadi sebenarnya ia juga ikut merasa takut. Perkataan afifah tersebut membuatnya teringat kembali obrolan mereka dengan dokter tadi.

Flash back

"Bapak, ibu, usia kandungannya sudah memasuki minggu ke 40 dan ini sudah terlambat dari perkiraan lahirnya, selain itu air ketubannya sudah sedikit berkurang, plasenta juga sudah mulai pengapuran. Secepatnya kita harus bertindak pak, kalau tidak bahaya untuk bayinya."

" Lalu tindakan apa yang harus dilakukan dok? lakukan apa saja yang terbaik dok, agar istri dan anak saya sehat dan selamat."

"Satu minggu, kita akan menunggu satu minggu lagi. Jika dalam satu minggu ini tidak ada tanda-tanda persalinan, ibu harus segera kesini. Kita lakukan induksi terlebih dahulu, jika tidak berhasil baru kita operasi."

Deg....

Sejak tadi Afifah hanya diam disamping Hanif, dia mendengar baik-baik obrolan suaminya dengan dokrer tersebut. Dadanya berdebar kencang saat kata operasi di sebutkan. Operasi, batinnya terus saja mengulang kata-kata itu.

Bukannya tanpa alasan Afifah merasa takut seperti ini, ibu Afifah dulu juga meninngal setelah operasi ketika melahirkan adiknya. Dan naasnya lagi adiknya juga tidak bisa di selamatkan. Tapi ini kasusnya berbeda, ibunya tidak selamat karen mengalami kecalakaan mobil waktu usia kandungannya 8 bulan. Dokter sudah berupaya semaksimal mungkin tetapi Allah berkehendak lain. Selain ibu dan adiknya, ayahnya juga tidak selamat dalam kecelakaan itu. Afifah sudah ikhlas, tetapi tetap saja mendengar kata operasi membuat trauma tersendiri untuknya. Dan Hanif tahu betul akan hal itu.
****

"Afifah pengen es krim" Hanif keluar dari lamumannya setelah mendengar ucapan istinya itu.

"Es krim?" Hanif menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan. Baru saja dia bercerita panjang lebar, terdengar takut dan cemas. Lalu apa ini, dengan wajah cerah dan berbinar dia meminta es krim, es krim?. Begitu drastis mood nya berubah. Dasar ibu-ibu hamil labil.

"Sepertinya es krim di gerbang depan itu enak Mas, tadi afifah lihat ada di sana. kita cobain, yuk", ucap Afifah dengan wajah berbinar, seraya menunjuk tempat penjual es krim yang dia maksudkan.

Hanif memberhentikan langkahnya, menatap gemas istrinya itu, jika menginginkan sesuatu pasti nada bicaranya seperti anak kecil, sungguh menggemaskan. Di usap nya pipi Afifah, yang terlihat semakin cabi. Semenjak hamil, berat badannya memang naik drastis, mencapai angka 65 kg dari sebelumnya yang hanya 48 kg. Fantastis

"Aawww ... " Afifah meringis kencang, setelah merasakan cubitan di pipinya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Hanif suaminya. "Mas kok di cubit sih, sakit", protes Afifah.

"Lihat nih, pipi kamu sudah semakin cabi, masih mau es krim juga", ucap Hanif sambil menekan-nekan pipi Afifah dengan jari telunjuknya.

"Cabi-cabi gini Mas tetap sayang kan, tetap cinta,"  balas Afifah, dengan nada yang sangat menggemaskan menurut Hanif.

Hanif terkekeh geli, melihat tinggah Afifah yang sering berubah. Kadang ia bertingkah kekanakan, kadang sangat dewasa, kadang tiba-tiba sedih, tiba-tiba tertawa. Hormon kehamilan benar-benar mempengaruhinya.

"Ayo kita beli es krim nya", ucap Hanif berlalu pergi sambil menarik lembut tangan Afifah.

****

Afifah dan hanif sudah sampai di rumah setelah menempuh perjalanan 15 menit dari rumah sakit.

"Kalian sudah pulang, apa kata dokter? Kandungan Afifah baik-baik saja kan? Cucu mama di dalam gak kenapa-napakan? Apa ada masalah? Sudah ada tanda-tanda akan lahir?
". Baru saja mereka masuk kedalam rumah, ibu Zubaidah mama Hanif sudah melayangkan banyak pertanyaan, seperti wartawan saja.

Senjak kehamilan Afifah memasuki usia lima bulan ibu Zubaidah memang memaksa mereka tinggal bersamanya. Meskipun dengan begitu Hanif harus mengalah karena jarak rumah mamanya dengan kantor Hanif bekerja cukup jauh. Kurang lebih satu jam jika ditempuh dengan sepeda motor, itupun kalau jalanan lancar.

"Mama tanya nya satu-satu dong, Hanif bingung mau jawab yang mana dulu," jawab Hanif, sementara Afifah terkekeh pelan mendengar rentetan pertanyaan mertuanya itu.

"Ibu Afifah baik-baik saja kok, bayinya juga sehat, alhamdulillah. Dokter bilang kita tunggu seminggu ini, jika belum ada tanda-tanda persalinan baru dokter ambil tindakan. Ibu doakan saja semoga cucu ibu segera lahir." Afifah memilih menjawab pertanyaan ibu mertuanya.

"Alhamdulillah syukurlah nak, mama bisa lega sekarang. Kita sama-sama berdoa" ucap ibu Hanif sambil menuntun Afifah duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

"Kamu duduk dulu sayang, kamu pasti haus dan capek. Biar mama ambilin teh hangat sama buah di dapur."

Baru saja Afifah hendak membuka mulut ingin menolak ibu mertuanya, ibu Zulaika langsung mengacungkan tangan tanda ia tidak ingin dibantah. Bukannya Afifah tidak senang dengan perhatian ibu mertuanya ini, namun ia takut merepotkan atau membuat ibu mertuanya lelah. Seharian ibu mertuanya sudah memasak, bersih-bersih dan tugas rumah lainnya, ia hanya di perbolehkan membantu sedikit-sedikit. Dia merasa menjadi menantu yang kurang ajar jika hanya untuk mengambil makanan dan minumannya juga harus ibu mertuanya.

"Mama biarkan Afifah yang ambil sendiri, kata dokter justru bagus kalau Afifah banyak gerak biar lahirannya nanti mudah." Untung saja Hanif melihat raut wajah tidak enak dari Afifah. Ia langsung tanggap dan membantu. Lagipula apa yang dikatakan Hanif memang benar adanya.

"Baik.... baiklah mama mengalah. Anak-anak jaman sekarang memang aneh di perhatikan orang tua malah tidak suka."

"Mama bukan begitu."

"Ya sudah... mama masuk kedalam dulu mama mau mandi uda sore."

"Mama memang yang terbaik."

Mawar BerembunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang