6. Assalamu'alaikum

2.9K 79 0
                                    

Ponsel tua itu tergeletak di atas meja makan dengan speaker menyala. Tuan Sati duduk bertopang tangan pada meja. Diseberang sana Rosma menceritakan semua yang terjadi pada hari itu. Beberapa kali Tuan Sati menarik nafas panjang demi menenangkan dadanya yang bergemuruh. Disampingnya, Nurhayati terlihat lebih tenang. Sesekali Nurhayati menimpali kakaknya itu dengan bergumam pertanda ia mendengarkan Rosma dengan seksama.

[Kalau begitu, baiknya Hanna pulang saja ke kampung. Disini dia bisa jalan-jalan ke panorama. Atau mungkin kuajak dia ke Pantai Air Manis di Padang. Barangkali dia butuh waktu untuk istirahat.]

[Aku setuju Nur. Aku yang akan mengantarnya sendiri. Tapi tidak sekarang. Minggu ini aku akan sedikit sibuk.]

Usaha catering Rosma memang sedang banyak orderan minggu ini. Meskipun Rosma memiliki empat orang karyawan, namun tidak melepas pekerjaan begitu saja mentah-mentah pada karyawannya. Ia terbiasa terlibat di dapur. Beberapa masakan tertentu seperti rendang, kalio, dendeng, itiak hijau Koto Gadang, masih Rosma sendiri yang mengolah dan menakar bumbunya.

[Baiklah, mana Hanna.. aku ingin mendengar suaranya]

Rosma menyodorkan ponselnya pada Hanna.

[Assalamualaikum, mama]

[Wa'alaikum salam.. apa kau baik-baik saja, Nak?]

[Hanna baik, Ma.. Hanna ngga apa-apa]

[Hanna, jangan risau, semua akan baik-baik saja, Nak, Mama dan Papa tak pernah lupa berdoa untukmu. Percayalah, rencana Allah pasti lebih indah dari pada yang kita harapkan]

[Iya, Ma..]

[Berharap lah hanya pada Allah, insyaAllah, semua pasti ada hikmahnya..]

Hanna menarik nafas panjang. Matanya memanas. Tetapi ditepisnya agar air mata itu tidak tumpah. Hatinya terluka, perih. Bukan karena Irwan, tetapi karena harapan orang tuanya yang ingin agar ia segera menikah, tiba-tiba menguap begitu saja.

Ma, Pa, Hanna baik-baik saja. Semoga Mama dan Papa juga...
.
.
.
***
Hanna mengecek semua pesanan yang akan diantar siang ini. 12 kotak brownies, 5 bolu pisang, 3 lapis Surabaya, dan 2 bolu tape keju. Lengkap sudah.

"Han, you sudah mau pulang?"

"Iya, Ce, nih udah mau siap-siap."

"Tapi you tunggu kurir bentar wo, nanti kurir datang you baru pulang."

"Siap Ce."

Cece Yanti mengangguk-angguk.

"Aduh, hampir lupa, you gajian hari ini ya.." Cece Yanti menepuk jidatnya. Ia masuk ke dalam dan kembali lagi ke dapur dengan sebuah amplop.

"Makasi, Ce"

"Cece yang makasi, you balik kesini aja Cece udah senang. Kalau ngga ada you Han, aduh, pasti Cece repot."
.
.
Seminggu setelah Rosma menelpon Nurhayati, ia mengantar Hanna kembali ke Bukittinggi. Nurhayati menyambut putri satu-satunya itu dengan rasa haru. Dipeluk dan diciuminya. Seolah tak ingin lagi berpisah jauh darinya. Bahkan Nurhayati sudah merencanakan mengajak Hanna ke Padang beberapa hari. Tetapi Hanna telah memutuskan, ia akan kembali bekerja, ke pabrik roti Cece Yanti. Dan sebulan sudah ia disini.

Hanna kembali ke kos-annya. Baru pukul 2 siang. Ia berbaring di kasur busanya. Sebuah buku novel yang kemarin baru ia beli menjadi perhatiannya kini. Dibaliknya halaman demi halaman.

Perhatiannya terusik ketika ponselnya bergetar dan berkedip-kedip. Hanna memang sengaja memasang mode silent pada ponselnya. Diraihnya benda itu diatas meja. Sebuah nomor tidak dikenal menelponnya.

[Hallo]

[Assalamualaikum, Hanna?]

[Wa'alaikum salam..]

[Ini saya, Reza.. masih ingat?]

Hanna tersedak. Matanya membulat. Ia taruh buku bacaannya kesamping. Seolah pria itu ada didepannya, Hanna bangkit dan duduk dengan manis. Diperbaikinya rambutnya yang sedikit acak-acakan.

[M-mas Reza? Ada.. ehemm.. ada apa mas?]

Beberapa kali Hanna mendehem, memperbaiki suaranya yang sedikit bergetar. Entah mengapa, tangannya pun berkeringat dingin. Reza menelponnya? Pria yang mendengar namanya saja membuat jantung Hanna berloncatan tidak karuan.

[Hehe, kaget ya Han. Lagi sibuk? Saya telepon nanti saja..]

[Eh, ngga kok Mas. Maksud saya ehem, Iy-iya kaget sedikit]

[Sedikit? Wah, sayang sekali.. Tadinya saya pikir kamu bakalan surprise banget.]

Hanna kehilangan kata-kata. Jantungnya berdetak semakin meriah. Sekarang seolah kembang api raksasa baru saja pecah dan cahayanya yang memukau berpendar tepat diatas kepalanya.

[Hehe, ada apa ya Mas?]

Hanna merasa sangat bodoh. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu yang lebih berkualitas. Tetapi ia hanya mengulangi pertanyaan yang sama dari tadi.

[Ngga, saya kemarin ketemu sama Ibu Ros. Beliau bilang kamu sudah pulang. Pantas saja saya udah lama ngga lihat kamu.]

[Ooh..]

Lalu beberapa saat hening. Hanya Hanna, Reza, dan Tuhan yang tahu apa yang saat itu sedang menari dipikiran mereka.

[Han..]

[Ya..]

[Kalau di FB, nama kamu siapa?]

[Hanna Syafira]

[Oke, nanti tolong dikonfirmasi ya.. assalamualaikum..]

[Wa'alaikum salam]

Tuut!

Reza menggeser tombol merah pada ponsel pintarnya. Wajahnya sumringah. Kedua tangannya ia lipat dibelakang kepala. Suara gadis diseberang sana masih terngiang di telinganya. Tiba-tiba ia merasa rindu. Rindu yang aneh menjalari seluruh tubuhnya. Ia merasa bersemangat sekali. Dan entah untuk apa..

***

Tak terasa sudah tiga bulan mereka saling komentar di Facebook. Terkadang Reza mengirim ucapan-ucapan tak penting via whatsApp. Seperti pagi ini.

Ting!

Hanna membuka ponselnya.

Wajahnya memerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wajahnya memerah. Ia tersipu. Pria itu telah memenuhi setiap sudut kosong dihatinya. Memberi warna baru di hidupnya. Membalut luka yang pernah ada. Tapi ia sadar, ia tidak boleh terlalu banyak berharap. Hanna tak ingin mengulang luka lama pada Mama dan Papa. Biarlah Tuhan menuntun jalannya. Sebab hanya Tuhan yang mengetahui apapun yang terbaik untuknya.






DIJODOHKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang