Part. 8

2.3K 75 0
                                    

"Bagaimana Reza menurutmu?"

Mak Tuo melontarkan pertanyaan yang samasekali tidak disangkanya. Hanna mendehem bebepa kali. Bingung dengan jawaban yang tepat. Berusaha melakukan hal-hal remeh temeh untuk mengalihkan perhatian Mak Tuo.

"Mak Tuo sudah kenal lama dengan Reza. Tapi hanya ingin mendengar langsung darimu."

"Baik. Dia... baik."

"Hanya baik?, juga tampan kan?"

Mak Tuo terkekeh, menggoda Hanna. Pipi Hanna yang putih memerah karena malu. Hangat menjalari sekujur tubuhnya.

***

Gawai Hanna berkedip-kedip. Sebuah pesan masuk. Reza.

[Maaf mengganggu, sudah tidur?]

[Belum]

[Mas di teras. Mau turun ke bawah sebentar?]

Hanna meraih sweater rajut merah muda dan bergo rumahannya. Di ruang tamu, ternyata ada Bu De Aminah yang sedang bercakap-cakap dengan Mak Tuo. Hanna mencium takzim tangan Bu De Aminah. Senyum dan tatapan Bu De yang hangat menghilangkan rasa canggungnya.

"Sudah lama Bu De?, Maaf Hanna ngga dengar Bu De datang."

"Iya, ngga apa-apa. Bu De kan ada perlunya sama Bu Ros. Biasalah, urusan nenek-nenek," Mak Tuo dan Bu De tertawa bersama.

"Itu Reza pake ngekor segala. Katanya ada perlu sama kamu. Sana gih."

Hanna menghampiri Reza di teras. Pemuda itu sedang duduk bersandar pada sebuah kursi panjang.

"Hai ... duduk," sapanya pada Hanna. Reza menggeser duduknya untuk memberi tempat pada Hanna. Hanna menurut, duduk disebelahnya.

Cuaca malam ini sebenarnya sudah mulai dingin. Agak mendung. Tapi untuk mencairkan suasana yang sudah hampir sepuluh menit berlalu dalam kebisuan diantara mereka, Reza memulai.

"Emm... Langitnya cerah, ya?"

"Mendung." Jawab Hanna.

"Oh, iya ... mendung." Reza salah tingkah.

Untuk beberapa saat kembali dua insan itu saling diam. Menikmati sekaligus merutuki keadaan.

"Tadi Mas bilang mau ngomong sesuatu?"

"Enggak. Mas cuma bilang, kamu mau turun sebentar? Itu saja."

Lalu kembali diam, tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

"Emang kamu berharap Mas mau ngomong apa?"

"Ya udah, aku masuk." Hanna bangkit dari duduknya.

"Eh..eh... jangan. Suka ngambek juga kiranya calon istri Mas ini."

Deg! Jantung Hanna serasa copot dari tempatnya. Apa ia tadi tidak salah dengar. Calon istri?

"Maksud Mas?"

"Iya, kamu ... mau kan jadi istri Mas?"

Hanna tidak percaya. Sesaat seperti langit runtuh dan bulan melompat ke pangkuannya. Bintang-bintang yang tak tampak karena mendung kini beribu-ribu jumlahnya, memancarkan cahaya keemasan di langit. Burung-burung malam yang berbunyi menakutkan kini terasa seperti nyanyian peri. Seperti inikah rasanya jatuh cinta? Di dalam hati  ia tengah berteriak kini. 'Ya Tuhan. Tolong tenangkan genderang dalam dadaku'.

Dan ia mengangguk. Begitu saja. Tidak seperti saat Irwandi melamarnya. Tidak ada sholat istikharah seperti yang seharusnya. Hanna hanya mengikuti kata hatinya. Ia telah jatuh cinta.

***

Dua bulan setelah hari itu. Resmi sudah hari ini Hanna menjadi nyonya Reza. Pernikahan mereka dilaksanakan dengan sederhana. Meski begitu, ramai juga tamu yang datang. Hanna tersenyum sepanjang hari menerima ucapan selamat dari para undangan. Setelah Maghrib acara pernikahan selesai sudah. Tamu pun sudah tidak ada yang datang. Hanya ada dua keluarga besar yang sedang berkumpul. Nurhayati dan Tuan Sati terlihat sangat bahagia.

Hanna masuk ke kamar Reza yang kini juga telah menjadi kamarnya. Ia belum sholat isya. Beruntung ia tidak menggunakan banyak aksesoris yang menyulitkan. Selepas ashar tadi Hanna tidak lagi memakai pakaian pengantin Melayu. Ia menggantinya dengan gamis warna maroon yang elegan.

Rasa lelah berkurang saat ia melaksanakan sholat. Malah kini ia menjadi lebih segar. Hanna memperpanjang zikirnya. Hamdalah tak henti-hentinya ia panjatkan kehadirat Allah. Semua ini tidak akan terjadi tanpa campur tangan-Nya. Sesaat ia seperti hancur saat Irwan melamarnya. Namun hari ini, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya.

Reza masuk ke kamar mereka. Didapatinya Hanna masih bersimpuh pada sajadahnya.

"Adik sudah sholat isya?"

"Sudah, Mas."

"Kita sholat dua rakaat ya..."

Reza menggelar sajadah di depan istrinya. Sholat sunat dua rakaat mereka tegakkan. Kemudian Reza meletakkan tangannya di kening istrinya sambil berdoa,

”Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih.
Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu daripada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya”.

Lalu  mencium kening istrinya. Lembut sekali. Mata mereka saling bertatap. Inilah untuk pertama kalinya Hanna memperhatikan wajah Reza dengan seksama. Matanya, hidungnya, alisnya yang tebal, dan bekas cukuran di dagunya yang kebiruan.

Dan malam yang indah itu mereka lalui dengan manis. Malam pertama dengan kekasih halal. Tidak ada yang lebih indah dari itu. Bahkan hari-hari setelahnya. Hingga suatu hari badai datang menghantam biduk rumah tangga mereka.

DIJODOHKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang