Dia

7.3K 425 46
                                    

   Lagi, aku memandangnya. Menatap penuh harap pada punggungnya. Ya, dia begitu populer sehingga hanya punggungnya saja yang dapat kulihat. Entahlah, aku tidak ingin bersusah payah—seperti  yang lain—hanya  untuk berdiri di dekatnya. Cukup di sini saja, di tempat favoritku yang sepi dan jauh dari keramaian, tepatnya di lantai dua perpustakaan sekolahku. Sangat menyenangkan melihatnya dari sini, aku bisa leluasa melihatnya tanpa harus diketahui orang lain.
   Terhitung sudah hampir 3 tahun aku mengaguminya. Aku sendiri tidak menyangka bahwa aku bisa menyimpan perasaan seperti ini untuk seseorang yang bisa jadi tidak mungkin aku gapai, dia sangat sulit untuk diraih. Dan aku cukup sadar diri untuk tidak mengharapkannya dapat bersamaku. Gila! Memikirkannya saja bisa membuat pipiku memerah.
   Ups! Aku lupa! Namaku Krist Perawat. Tahun ini merupakan tahun terakhirku berada di Sekolah Sapphire Blue, sekolah yang mempertemukan diriku dengannya. Bagaimana aku bertemu dengannya? Oh iya, ini perlu kuberi tahu. Kejadiannya kira-kira hampir 3 tahun yang lalu, saat aku masih berada di tingkat pertama. Jadi, saat itu...

   Saat itu sedang istirahat untuk makan siang, aku mengabaikan perut laparku karena aku lupa membawa bekalku dan terlalu malas untuk berdesak-desakan dengan murid lainnya hanya untuk membeli makanan di kantin. Aku putuskan untuk menghabiskan waktu dengan membaca buku di lantai dua perpustakaan sekolahku, entahlah, di sini sangat menenangkan karena suasananya yang sepi.
   Masih ada 10 menit lagi, pikirku sambil melirik jam tanganku lalu saat itu aku tersadar, seperti merasakan bukan hanya aku yang ada di lantai dua ini. Aku mengedarkan pandangan, berusaha mencari atau berharap ada orang lain di sini karena jujur saja aku mulai takut.
   Setelah menghabiskan beberapa menit dengan mencari-cari kehadiran orang lain namun tetap tidak ada siapapun, aku memutuskan untuk kembali membaca. Aneh, tadi aku yakin sekali ada orang lain selain diriku.
Tiba-tiba..
“HUWAAAA!!” aku teriak sekuat tenaga saat dengan tiba-tibanya ada seseorang yang keluar dari balik rak buku.
“HAH? KENAPA? ADA APA?” orang itu langsung panik begitu mendengar teriakanku.
“KAU! KE-KENAPA...?” sial, karena terlalu kaget aku sampai gagap seperti ini.
“Oh, tolong tenanglah. Aku bukan hantu kok. Aku siswa di sekolah ini sama sepertimu. Yah, hanya menumpang tidur di perpustakaan ini,” jawabnya sambil tersenyum geli dan mengusap-usap matanya khas orang yang baru bangun tidur.
“Astaga.. aku kira kau hantu, tahu?” setelah berhasil mengendalikan diri, aku baru bisa memperhatikan orang yang sekarang duduk di sampingku.
Rambutnya hitam pekat sehitam bola matanya..
Alisnya tebal sekali seperti ulat bulu..
Bibirnya tipis..
Rahangnya sangat tegas sekali..
Dia... tampan.
Astaga! Apa-apaan aku ini? Gila! Gila! Gila!
“Hei.. kau bisa mendengarku?” lamunanku buyar seketika, malu sekali! Ternyata dia mengajakku berbicara dan dengan bodohnya aku malah memperhatikan mukanya tanpa mendengarnya.
“Ya?” tanyaku linglung.
“Aku tanya kenapa kau tidak ke kantin dan malah menghabiskan waktumu di sini?”
“Oh, aku hanya tidak ingin. Di sini jauh lebih menyenangkan. Kau sendiri?”
“Alasan yang sama denganmu,” jawabnya lugas. Setelah itu hening, tidak ada yang memulai percakapan lagi. Aku hanya terlalu gugup. Sekali lihat saja, aku bisa mengetahui bahwa orang ini pasti istimewa.
KRINGGG KRINGGGG
Bel tanda waktu istirahat berakhir telah berdering, aku merapikan buku yang tadi kubaca sambil mencuri pandang kearahnya yang ikut beranjak dari duduknya.

“Siapa namamu?” Astaga! Aku tidak menyangka dia akan menanyakan namaku.
“Krist. Krist Perawat,”
“Oke, Krist. Senang berkenalan denganmu.” Ucapnya sambil berjalan melewatiku. Aku? Hanya bengong dan merasa bodoh karena tidak sempat menanyakan namanya.
Saat sudah di ujung lorong, orang ini berbalik..
“Singto. Singto Prachaya.” Ucapnya seperti mengetahui isi pikiranku lantas tersenyum dan melanjutkan jalannya.

Ya! Kalian benar! Sejak saat itu aku mulai mengaguminya. Teman dekatku yang mengetahui cerita ini hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala mereka. Aku tidak tersinggung ataupun marah karena aku sendiri bingung kenapa bisa mengagumi seorang Singto Prachaya sampai selama ini.
Tahun ajaran tingkat tigaku akan segera dimulai. Tahun ini entah mengapa sangat berat jika teringat bahwa tahun ini merupakan tahun terakhirku untuk bisa bersamanya. Mengaguminya diam-diam, memandangnya dengan leluasa, dan bertemu dengannya hampir setiap hari. Namun, tahun ini bisa jadi menjadi tahun terindahku, karena akhirnya aku bisa satu kelas dengannya. Terpujilah wahai guruku yang mengatur kelas ini.

“Krist, sedang apa kau? Ayo, sebentar lagi pelajaran akan dimulai!” Knot. Dia adalah salah satu dari empat temanku yang masih memiliki keinginan untuk ke perpustakaan. Sedangkan tiga temanku yang lain... entahlah hanya tuhan yang tahu kenapa mereka sangat malas ke perpustakaan.

“Di mana Bright, Toota, dan Prem?” tanyaku sambil beranjak mengikuti Knot.
“Mereka sudah berada di kelas sejak tadi. Kau sih, susah sekali diajak ke kantin. Masih sibuk memandangi Pangeran Singto, ya?” jawabnya sambil tertawa geli.
“Stt! Ai’Knot, jangan keras-keras! Bisa mati aku kalau ada penggemarnya yang mendengar!” seruku sebal.
“Kau ini, jika suka datanglah padanya. Jangan diam saja dan mengharap bahwa dia akan menyadari kehadiranmu. Iya, dia, si Singto itu.” Tambahnya sambil tergelak, aku diam saja. Tidak tahu harus merespon seperti apa.

Pangeran Singto. Pangeran. Singto. Bukan tanpa alasan Knot memberi julukan itu untuk Singto. Satu sekolah ini juga menjulukinya seperti itu. Kenapa? Oke, baiklah, akan kuberi tahu.

1. Singto Prachaya. Siswa cerdas yang memiliki segudang prestasi baik di bidang akademi maupun non akademi.
2. Singto Prachaya. Seorang kapten basket yang mampu memimpin tim-nya untuk menjuarai lomba hingga tingkat nasional.
3. Singto Prachaya. Mantan ketua OSIS yang sampai sekarang masih diandalkan oleh hampir satu penghuni sekolah.
4. Singto Prachaya. Seakan belum cukup sempurna, sikapnya yang sangat baik, ramah, suka menolong dan selalu tersenyum.
5. Singto Prachaya. Membuat siapapun yang berada di dekatnya akan merasa sangat nyaman dan senang. Dia seperti Happy Virus.

   Dan dengan semua fakta itu lah, aku menolak untuk mendekatinya. Huh. Siapa aku? Hanya seorang siswa biasa. Biasa. Yang hanya memiliki empat teman terdekat yang bisa aku andalkan.
   Sesampainya di kelas, aku mengedarkan pandanganku mencari sosoknya. Tidak ada. Hmm, mungkin dia masih sibuk dengan para fans-nya. Hal ini bukan sekali—dua—terjadi. Berulang kali dia kewalahan karena sibuk mengurusi para penggemarnya. Walaupun begitu, dia tetap menghadapinya dengan senyuman. Baik sekali orang ini.
   Ups! Dia datang! Astaga... tampan sekali. Kembali aku membandingkannya dengan diriku. Aku, Krist Perawat, seorang lelaki yang bisa dikatakan hampir nerd. Hampir. Berkulit putih dan jangan lupakan pipi bulatku yang hampir menyerupai bakpao sampai-sampai keempat temanku senang sekali mencubitinya. Huh.
   Dan alasan ini juga yang membuatku mengambil jarak sejauh mungkin dengan Singto, kami sesama lelaki..
   Kami sama...
   Aku cukup tahu diri. Berharap dapat bersama dengan seseorang yang kita cintai merupakan sikap manusiawi. Knot berkali-kali mengingatkannya padaku. Namun, dengan segala penghalang ini, dapatkah harapan itu terwujud? Mungkinkah?
   Aku terlalu takut untuk memikirkan resikonya. Bodoh. Bright berkali-kali mengataiku. Aku hanya tidak ingin kehilangan ketenangan ini. Ketenangan saat aku memandanginya diam-diam. Berdoa untuk kebahagiaannya setiap saat. Apakah dengan memberi tahu lantas ia dapat membalas perasaanku? Hampir tidak mungkin.
   Jadi, aku berharap semoga saja di tahun terakhirku ini, aku bisa melihat senyumnya sesering mungkin dan dapat menyelesaikan tingkat tigaku dengan baik. Bersamanya. Semoga.

TBC

The One I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang