"Kita seperti 12:30, bersama-sama tapi tak searah..." – M.
.
.
.
.
"Kau sama sekali tidak menghargaiku, Krist." Singto menatap Krist dengan berkaca-kaca. Ia marah dan kecewa. Ia sendiri tidak menyangka Krist dapat melakukan hal ini padanya.
Air mata Krist ikut mengalir, ia meraih tangan Singto, "Tidak. Bukan seperti itu. Aku sangat menghargaimu. Sungguh,"
"Kalau kau menghargaiku, kau tidak mungkin melakukan hal ini. kau telah berbohong padaku, Krist..."
Sekarang Krist sudah benar-benar menangis. ia ingat Singto pernah berkata bahwa Singto tidak bisa menerima kebohongan apapun. Krist bergerak maju, memeluk Singto erat. Ia tidak tahu bahwa rencananya akan berakhir seperti ini. ia hanya ingin membuat Singto bahagia.
"Maafkan aku, Singto..."
Singto melepaskan pelukannya, "Aku rasa lebih baik kita akhiri sampai di sini saja, Krist."
Haruskah...secepat ini?
XI. 12:30
Krist terperangah, ia menatap Singto dengan matanya yang berkaca-kaca. Singto pun tidak jauh beda, sejak tadi ia mulai menangis. Mereka merasakan sakit yang sama. Tidak ada yang menginginkan ini terjadi. Tidak ada. Namun Krist maupun Singto sebenarnya paham bahwa ini adalah ujung untuk hubungan mereka.
Pelan-pelan Krist mulai menyadari kesalahannya. Berusaha keras melihat masalah ini bukan hanya dari sudut pandangnya. Ia harus mempertimbangkan sudut pandang Singto. Krist sangat mencintai Singto. Menyayanginya dengan sungguh. Sehingga tanpa sadar Singto terluka karena dirinya.
Pandangan Singto tidak lepas dari Krist. Ia harus melepaskan seseorang yang ia cintai. Seseorang yang ingin sekali ia lindungi. Seseorang yang berhasil membuatnya jatuh cinta hanya dengan kesederhanaannya. Singto sama sekali tidak menyalahkan Krist seluruhnya. Ia juga salah dalam hal ini. mengapa ia bisa bercerita tentang kakek tanpa memikirkan kemungkinan tindakan Krist. Krist mencintainya, ia paham. Sangat paham. Seperti dirinya yang sangat mencintai Krist. Namun apakah cukup hanya dengan saling mencintai?
Singto mengalihkan pandangannya, beranjak berdiri. "Aku rasa sudah cukup jelas, kita—"
"Tidak! Tolong dengarkan aku!"
Krist kalap, ia langsung memeluk Singto. Kembali menangisi perpisahan yang sudah tiba, "Singto, kumohon.. aku tidak bisa.."
Singto hancur. Melihat Krist menangis dan memohon kepadanya adalah hal yang tidak akan sanggup ia terima. Tangan Singto bergerak untuk membalas pelukan Krist. Tapi tidak. Ia berhenti. Ia tidak akan tahan jika memeluk Krist. Semuanya harus usai.
"Singto, maafkan aku. Aku salah. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku berjanji. Aku mohon, Singto...."
Demi mendengar permintaan itu, Singto tidak kuat lagi. Ia langsung memeluk Krist erat. Mengecup kepalanya. Mungkin bisa jadi ini terakhir kalinya...
Lama mereka seperti itu sampai Singto melepas pelukannya dengan paksa, "Krist, kau harus mengerti. Bukan karena aku tidak mencintaimu. Bahkan sampai saat ini aku masih dan akan selalu mencintaimu. Aku tidak melihat cinta ini ada ujungnya. Namun ternyata kita yang justru ada ujungnya. Aku tidak tahu untuk kedepannya akan seperti apa. Kita akan seperti apa. Yang aku tahu, kita memang sudah tidak bisa bersama."
"Tapi—"
"Kita harus bisa mengintrospeksi diri masing-masing. Mungkin jarak ini akan membantu kita.. mungkin."
Krist menatapnya, "Dan kau yakin kau bisa?"
Singto mengusap matanya yang mulai memanas kembali, "Harus. Salah satu diantara kita setidaknya harus bisa. Kalau tidak..."
Singto menarik Krist kembali ke pelukannya. Mengecup kepalanya dengan hikmat. Berpamitan untuk pergi. Sementara...
Aku mencintaimu, Krist...
Aku akan selalu menjagamu,
Berbahagialah walau bukan denganku...
TBC
-M.
Cr pic: Owner
KAMU SEDANG MEMBACA
The One I Love
RomanceLagi, aku hanya bisa memandangi punggungnya berharap suatu hari ia bisa menyadarinya. Lagi, aku terpukau dengan senyumannya berharap suatu hari aku adalah alasan dari senyumnya. "Berharap dapat bersama dengan seseorang yang kita cintai merupakan si...