"I would sacrifice anything just to see your smile,"
Apa itu "Bahagia'?
Pernahkah kalian merasakannya? Aku yakin pasti kalian pernah.
Dulu sebelum bertemu dengannya, aku mendefinisikan kata "Bahagia" itu seperti saat tidak ada satu pun masalah yang akan membuatmu bersedih. Tidak ada yang kau lakukan kecuali tersenyum manis sepanjang hari karena tidak ada satu hal pun yang perlu ditangisi.
Sebenarnya kata "Bahagia" itu tidak akan tampak begitu berharga saat kau bisa merasakaanya setiap hari. Kata "Bahagia" tampak sangat berharga saat kau harus berjuang untuk merasakannya, seakan-akan begitu sulit untuk digapai dan jika tidak berusaha maka kau tidak akan pernah merasakannya.
Sekarang setelah bertemu dengannya, kepahamanku berubah akan kata "Bahagia". Tidak, aku tidak memperumitnya bahkan membuatnya sangat sederhana. Aku tidak perlu memohon kepada Tuhan untuk dibahagiakan. Aku tidak perlu berjuang untuk memperoleh kebahagiaan. Aku hanya perlu bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat senyumnya di setiap hari kita bertemu. Itulah kebahagiaanku.
Alasan dibalik senyumnya? Aku tidak tahu. Tidak apa-apa. Aku tidak akan pernah mempermasalahkannya asal di matanya masih ada aku... mungkin.
***
Pagi ini cerah sekali, matahari seakan bersuka cita membagikan cahayanya. Semua siswa terlihat sangat bahagia. Semua, kecuali aku. Aku berjalan dengan langkah gontai menuju kelasku. Entah mengapa aku sangat takut menghadapinya. Aku takut tidak bisa menahan perasaanku padanya yang terus bertambah. Ya, aku tetap pada kesimpulanku untuk mengaguminya diam-diam. Aku menghela napas berusaha menyemangati diri sendiri. Semoga saja aku bisa menahan diriku untuk tidak selalu menatap mukanya.
Hadapi, Krist! Jangan dihindari.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah lengan merangkul pundakku. Aku menoleh, dan langsung bertatapan dengan sang pemilik lengan.
"Kau lemas sekali, belum sarapan ya?" Singto tersenyum. Astaga, ini masih terlalu pagi untuk melihat senyuman itu.
"Sudah dan tolong lepaskan aku, lenganmu berat sekali!" munafik sekali, batinku. Aku selalu ingin menggenggam tangan itu tapi jika ia terus berdekatan denganku maka kupastikan ia bisa mendengar detak jantungku yang sedang menggila.
"Hahaha! Ayo kita ke kelas bersama!" jawabnya dengan masih merangkulku.
Benar-benar orang ini! Baiklah. Atur napasmu, Krist. Kuasai dirimu! Terlalu sibuk dengan pikiranku membuatku tidak memperhatikan jalan dan menabrak seorang perempuan.
"Maaf, aku benar-benar tidak sengaja," aku langsung menghentikan jalanku dan menoleh.
"Iya, tidak apa-apa... lho? Singto?"
"Nana? Kenapa kau di sini?" jadi mereka saling mengenal? Kenapa aku tidak pernah melihat gadis ini?
"Ayahku dipindah tugas ke kota ini. Singto, aku benar-benar minta maaf.." Maaf? Sebenarnya ada apa dengan mereka?
"Nana, sudah tidak ada yang perlu kau katakan lagi. Dan jika kau tidak keberatan, aku masih ada urusan dengan temanku ini. permisi." Singto langsung menarikku untuk ikut berjalan bersamanya meninggalkan gadis itu.
Entah mengapa... tapi aku merasakan bahwa lengan Singto menegang saat berbicara dengan gadis itu. Kenapa aku merasa bahwa mereka memiliki hubungan di masa lalu? Aku menoleh, menatap Singto yang menolak mengeluarkan suaranya sejak kami berjalan meninggalkan gadis itu. Dan tunggu, kenapa pula lengannya masih bertengger dengan manis di pundakku?
KAMU SEDANG MEMBACA
The One I Love
RomanceLagi, aku hanya bisa memandangi punggungnya berharap suatu hari ia bisa menyadarinya. Lagi, aku terpukau dengan senyumannya berharap suatu hari aku adalah alasan dari senyumnya. "Berharap dapat bersama dengan seseorang yang kita cintai merupakan si...