Matahari mulai menenggelamkan dirinya, langit berwarna jingga terlihat di atas sana, pertanda senja hampir usai. Sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan berlantai dua itu masih sedikit terpapar cahaya matahari yang mulai redup, dengan jendela salah satu kamar yang terbuka.
Gadis cantik itu melamun membiarkan wajahnya diterpa sinar matahari. Hari ini Ara tidak sekolah lagi. Kemarin malam mamanya memarahinya habis-habisan karena Ara pergi kepesta pertunangan Rendy. Jujur Ara mengira bahwa gaun itu memang mamanya yang memberi, tapi bodohnya Ara tidak melihat dibagian belakang gaun itu bolong. Ara benar-benar tidak menyadarinya. Terpaksa Ara harus tertinggal pelajaran lagi hari ini.
Ara duduk di kursi dekat jendela yang menapilkan rumah megah itu. Rumah yang kemarin dikunjungi Ara. Jas itu, jas yang kemarin menyelamatkan Ara dari tatapan jahil para pria yang ada di pesta pertunangan malam itu.
Ara sempat berpikir yang menarik tangannya ke taman belakang kemarin itu adalah Rendy, namun imajinasinya terbuyarkan oleh tatapan tajam menusuk itu.
Ara sampai mencuci jas itu dengan teliti karena takut kotor atau terkena masalah lainnya, bahkan Ara bisa mengira bahwa harga jas itu sangalah mahal, dan Ara tidak akan mampu untuk menggantinya jika jas itu rusak sedikit saja.
Di sebrang sana terlihat Rendy yang baru saja keluar dari kamarnya dan duduk di kursi balkon. Seketika lamunan Ara terhenti karena itu.
Ara sangat senang melihat Rendy ada disana, Rendy tersenyum saat melihat Ara yang menatapnya. Namun mengingat bahwa Rendy telah bertunangan, membuat perasaan senang Ara seketika menghilang, ia hanya tersenyum paksa ke arah Rendy.
Rendy melihat perubahan raut wajah Ara tadi, ia mengambil ponselnya dari saku dan memperlihatkan pada Ara. Rendy bermaksud untuk mengajak Ara chating dari ponselnya.
Ara sempat bingung dengan yang dilakukan Rendy, namun dengan cepat Ara menggelengkan kepalanya. Ia bermaksud memberi tau Rendy bahwa ia tidak mempunyai ponsel. Ara memang tidak diijinkan membawa ponsel pribadi oleh mamanya.
Rendy mengerti maksud Ara, Rendy awalnya tidak percaya bahwa Ara tidak punya ponsel, namun setelah melihat raut wajah Ara, Rendy mulai percaya. Lalu ia menemukan sebuah ide. Ia pergi dari balkon itu untuk mengambil sesuatu.
Ara yang melihat Rendy pergi langsung mendesah kecewa. Ara tau bahwa ia memang tidak pantas untuk pria itu.
Wajah lesu Ara tergantikan dengan raut wajah bingung. Bagaimana tidak? Ara melihat Rendy memegang dua kaleng bekas yang disambung dengan tali panjang. Ara jadi teringat masa kecilnya saat ia memainkan itu diam-diam di belakang rumahnya supaya mamanya tidak mengetahuinya.
Rendy dengan keras melempar salah satu kaleng itu ke arah Ara membuat Ara dengan sigap menangkap kaleng itu dan berhasil. Ara menatap Rendy yang menempelkan salah satu kaleng yang ia bawa di telinganya.
Ara juga mengikuti yang Rendy lakukan membuat cowok itu tersenyum geli dan meletakan kaleng yang ia bawa di depan bibirnya dan bersuara.
"Ada apa?" Ucap Rendy dari kaleng itu dan beberapa detik setelahnya suara Rendy terdengar di telinga Ara walaupun sama-samar, namun Ara masih tetap bisa mendengarnya.
Ara sangat bahagia mendengar suara itu. Ara terkekeh pelan lalu menempelkan kalengnya pada bagian depan bibirnya.
"Dapat dari mana?" Ucap Ara berharap perkataannya sampai di telinga Rendy.
"Dari gudang". Ara hanya mengangguk. Hatinya menghangat karena perlakuan Rendy padanya.
"Selamat ya," ucap Ara lagi. Rendy awalnya senang, namun mendengar perkataan Ara, Rendy jadi agak kesal, karena ia teringat pertunangan itu, dimana salah satu pihak yang bertunangan tidak mencintai pihak lain dalam artian pertunangan ini adalah sebuah paksaan. Dan Rendy tidak suka dipaksa.
Rendy tidak berbicara, hanya menjawab dengan tersenyum paksa.
"Kenapa melamun tadi?" Sesaat kemudian Ara menjawab.
"Lagi bosen aja," ucap Ara tidak sepenuhnya berbohong. Ara sebenarnya memikirkan hukuman mamanya yang menguncinya dikamar.
Mereka terus berbincang lewat alat kuno itu. Walaupun kadang ucapan mereka tidak jelas terdengar satu sama lain, namun hal itu dapat menghibur masing-masing dari mereka.
"Rendy," panggil seseorang dari kamar Rendy.
Rendy mendengar panggilan itu langsung memberi isyarat pada Ara karena tidak bisa melanjutkan kegiatan kecil mereka. Ara mengangguk dan menutup jendela kamarnya karena hari sudah semakin malam dan angin semakin berhembus kencang.
"Nggak ketuk pintu dulu?" Tanya Rendy hanya untuk berbasa-basi.
"Udah, lo nggak denger" jawab Raska datar.
"Kenapa?"
"Papa manggil,"
"Papa udah pulang,?" Tanya Rendy antusias.
"Baru tadi," ucap Raska dingin.
"Makannya jangan sibuk sama dunia sendiri," ucap Raska menyindir. Sebenarnya Raska tidak sepenuhnya jujur. Alasannya memanggil Rendy memang karena dipanggil oleh papa mereka namun juga untuk menghentikan aktivitas yang Rendy lakukan dengan Ara. Entah kenapa rasanya Raska tidak suka melihat hal tadi.
"Gue kenapa?" Tanya Raska gusar sambil menatap jendela kamar Ara dari kamar Rendy.
***
"Papa," panggil Rendy dari depan pintu yang baru saja ia buka. Setelahnya pria paruh baya itu mendongak menatap putranya yang telah menginjak usia remaja itu.
Pria itu tersenyum, dia Wirata Pradipta, seorang workaholic akut yang hidupnya dipenuhi dengan urusan perusahaan dan saham-sahamnya. Bukan tanpa alasan, Wira jadi seperti ini juga karena hubungannya dengan istrinya kelam, dimana ia dikhianati oleh istrinya. Siapa yang tidak sakit hati jika melihat seorang istri yang selingkuh dan mempunyai anak dari selingkuhannya? Itulah yang dirasakan ayah dari dua orang remaja tampan itu.
"Kemari," panggil Wira pada Rendy dan langsung memeluk anaknya itu. Ada kerinduan yang mendalam yang dirasakan Wira untuk keluarganya.
"Pa, tolong jaga kesehatan papa juga,"
"Iya, papa usahakan," ucap Wira sambil menatap putranya. Sebulan lebih ia tidak pulang kerumahnya ini karena urusan pekerjaan di luar negeri. Ia juga meminta ijin pada kedua anaknya. Namun hanya saja saat itu Raska tidak menyetujuinya, hanya Rendy yang setuju. Itu karena Rendy hanya ingin bersikap lebih pengertian pada papanya. Rendy tau papanya masih teringat masa lalunya karena itu Rendy mengijinkan papanya untuk pergi selama itu.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Wira melihat Rendy dari ujung kakinya hingga ujung kepala.
"Rendy baik pa,"
Wira mengangguk sambil tersenyum lega. "Bagaimana dengan kakakmu?"
"Dia juga baik,"
Kini Wira sudah mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang ia simpan sejak ia masih berada di negara orang.
"Ren, makasi sudah mau mengerti papa," ucap Wira seakan sangat bersyukur memiliki anak seperti Rendy.
"Itu udah kewajiban Rendy pa,"
. . .
KAMU SEDANG MEMBACA
ARASKA
Teen FictionMungkin banyak kisah yang menceritakan bahwa ibu tiri sering berperilaku tidak adil atau bertindak keras kepada anak tirinya. Namun bagaimana jika hal itu dilakukan oleh seorang ibu kandung? Tak banyak orang yang tau bahwa dibalik sikap ramah dan s...