Aku Dan Dia

47 3 0
                                    

Pandeglang, 25 Mei 2007.

Dia Genta.

Sekitar beberapa tahun yang lalu tepatnya saat aku ber umur 9 tahun, rumah ku kedatangan tamu dari Jakarta. Ayahku memiliki teman dari sana yang pindah ke kota kecil ini. Temannya ayahku bisa dibilang sudah sukses di Ibukota, dan ia pindah ke kampung halaman nya dikarenakan ibunya yang sudah sakit sakitan.

Aku yang sedang bermain boneka barbie, tiba tiba dipanggil ayah.

"Billa "

"Iya yah." aku pun keluar kamar dengan tergesa, menuju ruang tamu dimana ayah berada.

"Nak, sini nak. Ajak main Genta sama kamu. Tuh, itu namanya Genta. Sana main, kenalan gih. " ayah menunjuk seseorang yang ayah bilang, namanya Genta. Aku menatap anak laki-laki se usia ku itu sambil mengeratkan pegangan ku kepada boneka barbie.

Kulihat anak itu sangat manja, lihat saja dia sekarang. Masih menempel pada ayahnya.

"Main lah sana, main sama Billa. Billa punya banyak mainan kan? " tanya Om Dio —ayah Genta, kepada ku. Aku mengangguk saja.

"Ga mau, masa maennya sama cewek." bocah lelaki itu menatap ku dengan tatapan jijik, aku mendelik keheranan.

Berlama lama disini hanya akan membuat ku mual, sudah lah. Aku pun kembali bermain ke kamar ku. Sayup sayup suara ayah terdengar tengah mengobrol dengan Om Dio.

Mama lewat depan kamar ku sambil membawa kan teh, untuk tamu. Kemudian mengetuk pelan pintu kamar ku yang terbuka hanya untuk membujuk ku agar mengajak Genta bermain.

"Dedek, itu ada temen nya bukannya di ajak main. Ajak main, pinter. "

"Dia nya aja ga mau main sama cewek." lirih ku, sedikit kesal.

Aku tidak melihat reaksi mama, sekarang aku ter fokus bermain boneka. Tak lama dari itu, aku merasa ada seseorang di ambang pintu kamar ku. Aku pun melirik ke arah pintu kamar, dan terdapat bocah laki-laki bermata sipit dengan rambut sedikit pirang.

Bocah lelaki itu dengan tidak sopan nya masuk ke kamar ku. Dan mengacak ngacak mainan ku.

"Heh, kamu kok ngacak ngacak mainan ku sih? Kamu ga punya mainan ya dirumah? " ujar ku, sengit. Bagaimana aku tak kesal? Mainan ku yang sudah disusun rapih di acak acak begitu saja oleh seseorang yang baru saja aku tahu namanya.

Semakin kesal saja diri ini saat bocah itu tertawa dengan lepas tanpa beban, sedangkan aku hanya bisa menahan amarah dan menangis. Iya, menangis. Dari lahir perempuan memang sudah ditakdirkan seperti itu, jika kesal nya sudah tak bisa di tahan lagi hanya dua hal yang akan dia lakukan. Marah, atau menangis.

Aku yang lemah ini sudah melakukan kedua nya.

Genta yang menyebabkan aku menangis, malah menutup pintu dan mengunci nya. Aku tidak tahu apa maksudnya, lalu kunci itu di sisipkan ke bawah pintu. Jadilah aku dan Genta terkunci di ruangan ini.

Aku semakin menangis lebih keras lagi, terlebih orang tua ku tidak ada yang datang, karena mereka sudah biasa dengan diriku yang cengeng ini. Demi apapun aku ingin mengutuk keadaan ini, dimana aku terkunci hanya dengan orang ini.

"Dasar cengeng. Nih, aku balikin mainan jelek kamu. " ia melempar kan boneka barbie ku kepada ku, aku terkejut saat melihat kondisi boneka kesayangan ku yang sudah seperti korban mutilasi.

Semakin keras lah jeritan ku.

Dan semakin keras pula ia tertawa.

Aku berlari menuju pintu yang dihalangi oleh bocah nakal itu. Awas saja, akan ku adukan kepada ayah ku.

lagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang