Pandeglang, Juli 2012

5 1 0
                                    

"Eh, itu Genta." Aira menunjuk seseorang yang ku tunggu tunggu, aku menyipitkan mata dengan raut cemberut.

Sudah hampir empat puluh tiga menit aku menunggu Genta di halte depan sekolah dibawah terik matahari yang menyengat, ya ditambah atap halte disini sudah lumayan tua. Besi besi nya sudah dilumuti karat, dan bahkan tidak sedikit ada yang sudah berlubang.

Genta sampai hati meninggalkan ku disini. Untung sabar.

Tak sampai satu menit, Genta sudah berhasil menyebrang jalan dengan sepeda nya. Di tahun 2012 ini, sudah banyak anak SMP seperti kami yang menggunakan sepeda motor ke sekolah. Tapi Genta tetap setia dengan sepeda kesayangan nya, kalo kata orang Pandeglang, sepeda nya itu jenis sepeda gunung. Sepeda yang memiliki gigi.

"Nih. " Genta menyerahkan tas ransel nya kepada ku.

"Cepet." ucapku, judes. Sambil mengambil tas itu dengan kasar.

Seperti biasa, jika tas nya ringan kadang dia hanya memindahkan nya ke depan. Namun jika berat, dia akan meminta ku untuk membawakan tas nya. Aku pernah meminta nya untuk memakaikan keranjang di sepeda nya agar tak merepotkan ku. Tapi dia bilang katanya gak keren sepeda nya di kasih keranjang, katanya mirip tukang siomay seperti sepeda ku. Aku lantas menghajar nya.

"Ra, duluan ya. " pamit ku setelah sepeda Genta melaju, aku melambaikan tangan ku kepada Aira yang sedari tadi senyum senyum tak jelas. Heran.

"Genta, kamu ngga capek apa berangkat pake sepeda terus? Rumah kita kan tanjakan turunan gini." tanya ku, di tengah tengah perjalanan.

Aku kasihan melihat nya mengayuh sepeda dengan kuat hingga keringat membasahi seragam nya. Namun meskipun begitu, keesokan hari nya seragam nya tetap wangi.

"Dari pada jalan kaki " ucapnya sambil ngos ngosan.

"makannya, gedein badan biar bisa gantian. Nanti lu yang bawa." lanjut nya. Aku mendelik.

"Yang ada kalo aku lebih gede dari kamu, aku bisa lebih keras mukul kamu kayak gini, " aku memukul punggung nya, "nih, nih, nih, haha" aku memukul nya berkali-kali.

"Aw, a dah, ahaha sakit sakit.. " ia meringis kesakitan, lebay. Padahal aku cuma memukul nya pelan, sepeda nya jadi oleng. Tapi untung ga jatoh.

"Turun."

Di jalan arah ke rumah ku, terdapat tanjakan yang lumayan jika pengendara sepeda melewati tanjakan tersebut. Aku juga tau diri, Genta ga akan kuat melalui tanjakan itu. Diturunkan disini, sudah biasa bagi ku. Tapi setelah sampai puncak, aku pasti naik lagi. Pasti itu.

"Satu, dua tig—

"Aaaaaaaaaaaaaaa" kami berteriak bersama sama.

Adem. Itu yang ada di benak kami. Semeliwir angin berhembus kencang, berlawanan arah dan menabrak kami. Aku dan Genta merentangkan tangan, menikmati udara sejuk yang menerpa. Genta sih, ga seberapa lama. Dia cuma buat gaya gaya an aja, di jaman ini bisa lepas tangan dua saat bersepeda saja bangga nya sama seperti memenangkan pulsa dua ratus ribu di game AOV.

Setelah kita melewati gundukan tanah itu, barulah kita memasuki kawasan perumahan yang jarak nya tidak jauh dari tanjakan. Aku melewati rumah Genta, dan beberapa rumah orang lain yang mana mereka adalah tetangga ku.

"Nih. " aku menyerahkan tas nya kepada pemilik nya. Lalu turun dari sepeda Genta sambil mengibas ngibas kan rok ku.

Setelah itu, Genta memarkirkan sepeda nya dan pulang. Aku memandangi punggungnya yang kian menjauh sebentar, lalu mulai menginjakkan kaki ini ke lantai.

🍪🍪🍪

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

lagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang