bagian delapan.

803 108 8
                                    

***

"Apakah kau masih ingat saat awal kita menikah, Hun?" Tanya Irene ketika mereka tengah bersiap untuk tidur.

Sehun yang telah selesai meminum obat segera menolehkan kepalanya kearah sang istri. Setelah seharian beristirahat karena 'keracunan', Sehun berhasil sembuh berkat Irene yang dengan setia menemaninya.

"Ingat. Kenapa?"

"Nggak papa. Tiba-tiba aku teringat saja, kita marahan di sarapan pertama kita. Terus baikan lagi. Aku yang sibuk banget sama masakan padahal cuma mau bikin nasi goreng keju aja. Hahahaha." Terang Irene panjang sambil memiringkan badannya kearah Sehun yang kini juga menghadapnya.

"Lucu banget ya, dan itu udah jalan setahun lalu. Waktu cepet ya, Rene." Ujar Sehun menanggapi dengan antusias. Entah sejak kapan mendengar Irene bercerita menjadi suatu hobi bagi Sehun. Disaat dirinya penat, hanya lewat mendengar suara lembut Irene, rasa lelah itu seakan menguap pergi. Dan Sehun bersyukur akan hal itu.

"Aku rindu Ayah, Hun. Sangat." Perlahan Irene memeluk Sehun yang ditanggapi pria itu dengan membalas pelukan itu hangat. Sudah sering setiap malam Irene mengatakan hal yang sama. Namun, Irene akan tetap menjadi Irene. Si wanita yang akan sok menguatkan dirinya dengan mengatakan, "kau memelukku sudah hilang kok rindunya", yang tentu saja membuat Sehun ingin terus berada di sisi Irene sampai kapanpun. Tolong garis bawahi kata sampai kapanpun.

"Besok mau kerumah Ibu?" Tanya Sehun penuh kelembutan.

Irene hanya menggeleng menanggapi pertanyaan Sehun.

Lima menit berlalu, Irene melepas pelukan diantara mereka. Lalu mendudukkan dirinya dan bersandar pada headboard. Kebiasaan yang dilakukannya jika tidak bisa tidur.

".....aku kesaaalll sekali pada Ibu."

"HAH?" Sehun reflek terduduk menanggapi ucapan Irene yang mendadak random.

"Kenapa?" Tambahnya menyadari Irene tidak meresponnya sama sekali.

Wanita itu menghela napas panjang. Panjang sekali, seakan hal itu bisa menghilangkan beban pikirannya. "Ibu tanya tentang momongan, lagi."

Sehun mulai mengerti kemana arah pembicaraan mereka akan berjalan. Pembicaraan yang selama 3 bulan ini sering menemani mereka sebelum terlelap di malam hari. Baik dari pihak Sehun, maupun Irene, mereka rutin menagih hal yang sama untuk menjadi penerus perusahaan Ayah Sehun kedepannya. Perusahaan yang bergerak di bidang furniture itu tengah naik daun saat ini, walaupun Tuan Oh selaku pemilik perusahaan sedang disibukkan dengan pertenakannya di New York, namun hal ini tak menutupi kemungkinan untuknya segera bisa menimang cucu.

"Kita tidak pernah berhenti mencoba, Rene. Tapi yang harus kita lakukan sekarang hanya sabar. Sabar menunggu titipan Tuhan yang satu itu." Ujar Sehun menenangkan, sambil mengelus puncak kepala Irene pelan.

"Bagaimana kalau ternyata ada yang salah denganku? Bagaimana kalau ternyata aku memang tidak bisa menghasilkan keturunan? Bagaimana kalau-" jawab Irene cepat, yang justru terpotong oleh Sehun yang dengan cepat menempelkan bibir keduanya. Perlahan ciuman itu berubah menjadi sebuah lumatan, ciuman menuntut yang diminta Sehun dari Irene.

Disela ciuman, Irene menangis tersedu-sedu yang akhirnya membuat Sehun menghentikan pangutan antara keduanya. Berakhir dengan Sehun yang memeluk erat tubuh mungil sang istri. Sudah cukup setiap malam mereka selalu membicarakan ini, dan baru malam ini sang istri mengutarakan hal yang tidak pernah ingin ia dengar sampai kapanpun.

"Aku... aku hanya takut... Takut sekali kalau sampai hal itu terjadi...." Irene berbicara tersendat-sendat karena air mata yang mengalir deras di pipi tirusnya.

LUVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang