bagian enam.

855 106 12
                                    

***

Sehun berlari. Berlari menerobos kerumunan orang dibandara yang entah kenapa hari ini terasa padat sekali. Pria ini tidak mempedulikan apapun selain hanya nama Irene yang terus dirinya ucapkan. Sehun bahkan tidak peduli dengan pengawal yang sedari tadi kewalahan mengejar langkah kaki lebarnya.

"Pak, biar saya yang menyetir." Ujar Sekretaris Kim dengan nafas yang masih terengah. Merasa paham akan situasi saat ini.

"Baiklah. Tolong percepat, aku mohon." Tanpa memandang yang diajak bicara, Sehun menyerahkan kunci mobilnya pada Sekretaris Kim.

Dalam mobil suasana sepi lengang seperti tak berpenghuni. Sehun sibuk memandang kearah jalanan, dan Sekretaris Kim tentu saja sibuk konsentrasi dengan apa yang didepannya. Sehun tidak bisa memperkirakan apa yang akan dirinya lakukan ketika telah tiba disana. Dia bukan tipe yang bisa menenangkan orang lain dalam keadaan berkabung seperti yang akan dirinya liat setelah ini. Sejujurnya, Sehun belum pernah dan tidak akan pernah mau berada di posisi kehilangan orang yang amat dicintainya.

Irene.

Dia akan sangat memahami wanitanya itu pasti merasa terpukul sekali.

"Pak, nona Irene menelepon." Ujar Sekretaris Kim ketika mereka berhenti dilampu merah. Menyerahkan ponselnya sedetik kemudian.

Tanpa menunggu apapun, Sehun langsung mengambil ponsel hitam itu, menggeser tombol hijau dan segera menempelkan ke telinga kanannya.

'Irene?' Terdengar gaduh diujung sana sebelum suara seseorang menyapa pendengarannya.

'Sehun, langsung ke tempat pemakaman saja. Aku tunggu disana. Kuharap kau bisa cepat tiba disini.' Dengan suara parau Irene mengucapkan itu. Membuat darah Sehun berdesir hebat karna panik.

'Baiklah Irene, aku akan segera menuju kesana.'

Sehun memberi isyarat pada Sekretaris Kim untuk memutar arah langsung menuju ke tempat pemakaman.

Sungguh, dirinya berharap hari ini tidak pernah ada dalam hidupnya.

***

Sampai ditempat pemakaman.

Peluh masih membanjiri pelipis Sehun. Suasana sunyi senyap mengiri kepergian Ayah Irene, yang juga telah menjadi Ayah Sehun saat ini.

"Jaga Irene ya, Sehun. Ayah percaya kalau kamu bisa menjaganya dengan baik. Kalau nantinya Ayah sudah tidak ada, tanggung jawab Irene sepenuhnya ada pada kamu. Jangan hancurkan kepercayaan Ayah."

Kalimat yang terus terngiang di benak Sehun, yang bahkan hingga kini menjadi pegangannya ketika merasa tak sanggup untuk melanjutkan kisah hidupnya bersama Irene. Tanggung jawab barunya. Ayah yang selalu mengingatkan Sehun setiap harinya, untuk senantiasa belajar mencintai putri semata wayangnya.

Setiap pagi Tuan Bae tak pernah lupa untuk menelepon Sehun sejak Irene telah menikah dengannya. Dan itu menjadi beban tersendiri bagi Sehun untuk bisa mengemban kepercayaan itu dengan baik.

Sehun menerobos kerumunan pelayat yang memadati lokasi pemakaman. Tepat setelah dirinya tiba, makam ayah telah menjadi gundukan tanah dengan pohon kecil sebagai penandanya. Dan Sehun dapat melihat sosok Irene di seberang sana hanya menunduk dan tidak lagi menangis seperti tangisan yang didengarnya tadi di telepon.

"Sehun." Suara lirih memecah lamunan Sehun dari Irene. Menatap kearah samping dimana ada ayah dan ibunya disana. Dengan sigap Sehun memeluk ibunya yang terlihat merasakan kesedihan mendalam. Tak bisa dipungkiri, Tuan Bae merupakan sahabat ayah dan ibunya sejak duduk dibangku SMA, jadi bisa dipastikan betapa sedihnya kehilangan seorang sahabat dimasa tua mereka seperti ini.

LUVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang