3 - Adriel

2K 183 1
                                    

Teresa menahan rasa kagum yang mulai muncul di dirinya saat menyadari tidak ada satupun yang berubah dari tempat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teresa menahan rasa kagum yang mulai muncul di dirinya saat menyadari tidak ada satupun yang berubah dari tempat ini. Tempat di mana ia sempat melalui hari-harinya selama beberapa tahun bersama Kieran. Tempat yang ia dan Kieran rancang sendiri dan dibangun sedemikian rupa demi masa depan mereka yang pernah Teresa pikir akan ada.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanya Teresa dengan nada datarnya. "Aku lelah, aku ingin pulang."

"Ini rumah kita. Dan kau tidak akan pergi ke mana-mana sebelum kau menjelaskan semuanya, Teresa!" jawab Kieran mencoba untuk tegas. Namun sebenarnya pria itu ketakutan setengah mati. Ia takut Teresa malah membencinya karena membentak wanita itu.

"Sejak kapan kau menjadi bossy seperti ini, Kieran?" Teresa terkekeh. Suasana hati wanita itu tiba-tiba berubah drastis. Dari yang tadi kesal, dan sekarang dia malah terkekeh dan melempar tubuhnya ke sofa empuk tempat dulu ia sering menghabiskan malam harinya menonton Netflix sambil memakan jagung brondong jika sedang tidak ada proyek syuting.

Kieran gelagapan. Pria itu tidak tahu harus apa sekarang. Teresa yang mendadak bersikap santai membuat Kieran bingung. "Jelaskan saja," katanya pada akhirnya.

"Jelaskan apa?"

"Tess, aku benar-benar tidak tahu mengapa kita bisa menjadi seperti ini. Rasanya baru kemarin semuanya baik-baik saja. Kau dan aku, tertawa di sofa ini, berpelukan di sini, bercinta di sini. Namun semuanya berbeda jauh sekarang dan aku tidak mengerti mengapa semua itu bisa hilang begitu saja."

Teresa tertawa renyah. "Apa kau serius, Kieran? Kau yang mengakhiri hubungan itu, jangan tanyakan padaku kenapa. Kau tiba-tiba mendatangiku di kafe dan mengakhiri hubungan kita dan sekarang kau bertanya padaku mengapa? Apa kau gila?"

Keduanya terdiam sejenak. Teresa mencoba untuk mengontrol emosinya, dan Kieran sedang menimbang-nimbang sesuatu yang harus ia katakan.

"Apa salahku?" tanya pria itu membuat Teresa menoleh. "Apa salahku kau meninggalkanku dulu? Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali, Tess. Hubungan kita terbangun sempurna sampai kau membuangku begitu saja. Katakan saja aku bodoh, aku terus kembali bersamamu. Aku tidak pernah merasakan hal yang begitu sempurna selain bersamamu, di sampingmu, mengetahui kau milikku. Tapi rasanya sekarang semua begitu hampa. Katakan, apa salahku?"

"Apa salahmu?" Teresa tersenyum miring. "Kau benar-benar ingin tahu?"

Kieran mengangguk mantap.

Teresa bangkit dari duduknya, berjalan ke lantai atas diikuti oleh Kieran. Dirinya tiba di depan sebuah pintu putih.

"Kau tidak pernah jujur padaku, Kieran." Teresa membalikkan tubuhnya menghadap Kieran yang mematung saat menyadari pintu itu. "Sudah berkali-kali kukatakan, aku menerimamu apa adanya. Tapi kau tidak pernah mempercayaiku.

"Kita merancang bangunan ini bersama-sama. Ruangan ini," Teresa menunjuk pintu yang ada di belakangnya, "seharusnya menjadi ruangan penuh kenangan kita. Lagi, kau berbohong padaku. Kau melarangku pergi ke dalamnya. Suatu saat aku mengintip memang tidak ada apa-apa di sana selain galeri lukisan dan buku-buku tebalmu. Tapi.."

Air mata Teresa tidak terasa sudah tergenang di pelupuk mata wanita itu. Kieran yang menyadarinya ingin memeluk Teresa, dan berbisik semuanya akan baik-baik saja. Namun ia tahu, apa yang ia pikirkan itu hanya akan membuat Teresa menjauh darinya.

"Oh Tuhan, aku merindukan Adriel.." Wanita itu mengeluarkan sebuah lipatan foto usang yang Kieran dulu pajang di sebuah bingkai di ruangan itu. Air mata itupun jatuh bersamaan dengan lolosnya sebuah nama yang diucapkan Teresa. Nama yang berhasil membuat Kieran merinding dan ingin membunuh dirinya sendiri saat ia mengingat nama itu.

"Kau mengingatnya..," bisik Kieran. Teresa terisak sambil menoleh pada pria itu. "Aku membencimu, Kieran. Kau membunuh anakku! Putraku, Adriel-ku!"

---

Tiga tahun lalu.

Bocah berusia sekitar dua tahun itu dengan lincah melangkahkan kakinya ke sebuah ruangan di ujung lorong. Teresa berlari mengikutinya. "Adriel, tunggu mama, Nak!" serunya namun tak dihiraukan anak lelaki tadi.

Teresa terdiam saat menyadari tubuhnya berada di depan pintu yang selalu tertutup rapat. Ke mana anaknya itu? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, menyadari Adriel-nya sudah tidak ada di sana. Namun tiba-tiba terdengar kekehan dari dalam, membuat Teresa mencoba untuk membuka pintu yang ternyata tidak terkunci itu.

Nafas Teresa tercekat saat menyadari banyak bingkai foto menempel dengan indah di dinding ruangan putih itu. Melihat dirinya masih menggunakan pakaian khas rumah sakit, seorang anak lelaki yang baru saja lahir, dan pria tampan berpose di salah satu foto membuat kepalanya tiba-tiba pusing. "A- Adriel.."

---

"Ia baru saja bernafas beberapa jam dan kau membunuhnya! Kau membencinya! Tatapan bahagiamu itu palsu! Aku membencimu, Kieran, aku membencimu!" Hancur sudah dinding yang Teresa bangun selama ini. Nyatanya ia tidak bisa sekuat itu. Ia tidak sanggup. Ia memiliki titik lemahnya tersendiri. Dan Adriel, adalah titik lemahnya.

"Maaf.. maafkan aku..," bisik Kieran lirih. Dadanya terasa sesak mengingat perilakunya yang tak dapat diampuni siapapun yang mengalaminya, terutama Teresa. Wanita itu benar, ia jahat. Ia membunuh anaknya sendiri. Putranya sendiri, darah dagingnya sendiri, hanya karena ia takut menjadi seorang ayah. "Aku pengecut. Aku.." Tangis Kieran luruh. "Aku menyesal.. Aku merindukannya, aku merindukan Adriel kita.."

"Kau menerimanya, Kieran. Kau membuatku sangat percaya padamu. Kau bersikap layaknya seorang suami yang siap siaga mendampingi istrinya mengalami tahap-tahap kehamilan. Kau berhasil menipuku dengan mengatakan seluruh bualan cintamu. Pelukan bohongmu pada perutku, perkataan manismu tiap malamku, aku membeci semuanya itu. Dan sekarang jangan berharap aku akan percaya pada kata-katamu, Kieran. Aku tidak sebodoh itu.. tidak lagi."

Teresa mengelap pipinya yang basah dan segera beranjak dari sana. Sebelum ia pergi, ia sempat membalikkan tubuhnya menghadap Kieran yang terisak dengan tubuh luruh di lantai, bersandar pada pintu tadi. "Aku mengalami amnesia dulu. Dan kau memanfaatkan aku. Cih, bodohnya aku berkata aku akan menerimamu apa adanya. Lalu sekarang jangan berpikir aku akan menjadi sebodoh itu lagi. Aku membencimu tapi aku juga mencintaimu. Aku membencimu karena kau bisa-bisanya bertingkah seperti dia tidak pernah ada di antara kita, Ran. Aku membencimu karena kau bertingkah seperti tidak ada yang pernah terjadi sebelum ini. Aku.." Teresa menghela nafas, memilih untuk pergi dari sana sebelum menyelesaikan kalimatnya. Ia bahkan tidak tahu harus berbicara apa lagi pada pria itu. Pria yang sedang memukuli dirinya sendiri.


His HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang