Pria berambut putih itu menggeleng-gelengkan kepalanya setelah membaca beberapa berkas yang seharusnya dikerjakan oleh putranya. Easton Kennedy mendongak sembari membanting kertas-kertas itu dan menghembuskan nafas beratnya. "Sudah berapa lama?" tanyanya dengan nada lelah.
"Dua bulan, Pak," jawab pemuda yang berdiri di hadapannya.
"Ck," Easton berdecak lidah, "undur proyek di Chicago. Kalau mereka tidak setuju, batalkan saja. Setidaknya sampai bocah tengik itu tahu cara bertanggung jawab." Kemudian pria tua itu bangkit dari duduknya dan meninggalkan gedung tinggi tersebut dengan mobil jeep kebanggaannya.
---
"Apa ia baik-baik saja? Apa aku harus ke sana?" tanya seorang wanita dari seberang telepon.
"Tidak tahu, aku masih dalam perjalanan. Apa kau tahu apa yang terjadi?"
"Teresa. Ia memutuskan hubungannya dengan Tessa."
Easton menepuk dahinya setelah mendengar pernyataan dari sang istri. "Baiklah, akan kuhubungi nanti. Semoga launching-mu lancar, aku mencintaimu."
Bip.
"Anak yang bodoh bukan?" Easton meletakkan ponselnya ke saku sambil menoleh ke luar jendela. Namun walau begitu, sang supir tahu Easton sedang berbicara padanya.
"M- maaf, Tuan?"
"Kieran, putraku. Ini kesejuta kalinya ia seperti ini. Ia putus lagi dengan kekasihnya. Mungkin ini yang terburuk. Tapi tidak juga, kalau diingat-ingat kejadian tiga tahun lalu. Ah sudahlah, Lee, kau takkan mengerti."
Sementara Easton menghela nafas lelah, Lee sang supir hanya bisa tersenyum meski ia sama sekali tidak mengerti apa yang tuannya katakan.
---
"Maafkan aku, Teresa. Kau tahu perjanjiannya," pria tua berkacamata di hadapannya menatap wanita itu dengan sendu. "Aku ingin sekali menyelesaikan film ini denganmu tapi produser-"
"Tidak apa-apa, Steve," Teresa memotong pembicaraan sang sutradara ternama itu. "Mereka benar, jika aku dan kau tetap memaksakan kehendak agar aku masih bermain di film ini, orang-orang akan kecewa. Rating-ku sedang menurun akhir-akhir ini," lanjutnya.
Steven tersenyum dan menepuk bahu Teresa dengan ramah. "Kuharap kau bisa menyelesaikan masalahmu, Tess. Aku akan menanti film baru bersamamu." Teresa hanya tersenyum kemudian berlalu dari studio itu.
---
"Kau terlihat berantakan." Adam sedang bersandar di bemper mobil sport-nya sambil bersedikap tangan saat melihat Teresa keluar dari studio. Wanita itu memilih diam dan masuk ke kursi penumpang. Adam terkekeh dan ikut masuk ke kursi pengemudi.
"Kau tahu kau bisa bercerita padaku," ucap Adam memecah keheningan. Namun Teresa masih terdiam. "Baiklah, aku yang akan bercerita," pria itu tersenyum, "hari ini aku hampir babak belur." Mendengar kalimat lanjutannya, Teresa menoleh dan membelalakkan matanya terkejut. "Apa kau baik-baik saja?" tanya wanita itu khawatir. Adam menoleh dan tersenyum, "Aku baik-baik saja. Kan kukatakan 'hampir'." Teresa mendorong pipi tirus Adam dengan jari telunjuknya agar pria itu fokus kembali ke jalan.
"Siapa yang melakukannya?" tanya Teresa. "Anak buah suruhan Tuan Kennedy yang terhormat," jawab Adam santai sambil menyipitkan matanya, mencoba untuk membaca rambu lalu lintas yang cukup jauh dari lokasi mereka.
Teresa menoleh dan kembali memelototkan kedua bola matanya. "A- apa?!"
"Tiga tonjokkan, masing-masing memiliki pesan. Untungnya tidak menimbulkan memar. Aku yakin mereka akan membunuhku jika pengawalku tidak datang tepat waktu."
Teresa mengernyitkan dahinya. "Pesan?"
Adam mengangguk, membelokkan mobil mewah itu ke sebuah jalan besar lainnya. "Iya. Sesuatu tentang merebutmu, mendudukki posisinya, dan seharusnya aku tidak hadir di dunia ini. Heh, ada-ada saja mantanmu itu. Ia terlalu obsesi denganmu. Terakhir kali aku bertemu dengannya itu di Universal Studio, hari pertama kau syuting. Ia mengusirku, sampai membawa pengawalnya. Pria itu gila." Adam tersenyum miring sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Menyadari Teresa yang hanya terdiam, Adam menaikkan sebelah alisnya. "Tess? Kau baik-baik saja?" Namun percuma, pertanyaan pria itu tidak dijawab olehnya. Adam menghentikan mobilnya saat lampu merah menyala. Ia melirik ke ponsel Teresa yang terletak di dashboard. "Wah, notifikasi di ponselmu banyak sekali. Semua dari.. nomor yang tidak dikenal."
Teresa masih terdiam. Adam jadi khawatir Teresa sedang kerasukan. Pria itu akhirnya mencoba untuk mengembalikan fokus Teresa dengan mengambil ponsel itu dan membaca notifikasi yang ada.
"Dari nomor yang tidak dikenal. Tiga ratus sembilan pesan," Adam menaikkan kedua alisnya, "maafkan aku. Maaf. Maaf. Maaf. Katakan padaku cara aku bisa menebus semua kesalahanku. Blablabla, panjang sekali pesannya." Adam meng-scroll layar kaca itu dan menghentikannya saat sudah sampai paling bawah, "Ini Kieran."
Sukses.
Teresa mengerjap dan merebut ponselnya. "Pria ini harus berhenti."
Adam menaikkan sebelah alisnya, menatap tidak yakin pada Teresa. "Pipimu merona, Nona. Dan.. apa jantungmu baik-baik saja? Aku bisa mendengarnya berdetak cepat dari sini saat kau mendengar nama itu."
"Adam, antar aku, ya?"
Adam hanya tersenyum miris dan melakukan apa yang sahabatnya perintahkan.
---
"Tess." Easton memperbaiki letak kacamatanya saat melihat Teresa masuk ke ruang tamu sebuah rumah megah yang katanya milik Kieran dan Teresa. Meskipun wanita itu sudah tidak mau mengakuinya lagi.
"Paman."
"Tetap panggil aku Dad, Tess. Kau sudah seperti anakku sendiri," kata Easton dengan senyuman hangatnya yang dibalas dengan senyuman oleh Teresa.
"Apa Mom tidak ikut?" tanyanya menyadari Katherine, istri Easton dan ibunda Kieran tidak ada di sekitarnya. Easton menggeleng sebagai jawaban.
"Kieran di kamarnya. Dua bulan ia tidak keluar. Aku sudah coba berbicara dengannya. Ia tidak mau mendengarkan dan terus meracau namamu. Huh, aku bahkan tidak tahan dengan bau kamarnya. Alkohol di mana-mana. Kau cobalah berbicara dengannya, ya?" pinta Easton. Teresa tersenyum lagi, "Aku kemari untuk itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
His Home
Short StoryRank: #5 in Brokeup Kieran Giovanni Kennedy adalah pengusaha sukses yang tampan dan mapan. Usianya yang masih muda serta statusnya yang masih lajang membuatnya menjadi incaran para wanita di seluruh dunia. Namun sayangnya Teresa Dalessandro bukanlah...