5 - Goodbye

2.7K 196 2
                                    

Hati Teresa sakit melihat pria di hadapannya. Dirinya terenyuh dan prihatin akan keadaan pria itu. Kieran Kennedy yang dipikir orang-orang adalah pria maskulin yang tampan itu salah besar. Kenyataannya, pria itu sangat mudah untuk bersedih jika tentang Teresa. Karena baginya, Teresa adalah kelemahannya.

Semenjak dua menit lalu, Teresa hanya terdiam di ambang pintu kamar Kieran yang terbuka. Dirinya menatapi Kieran yang menelungkupkan wajahnya ke bantal dan terdengar isakan lirih dari pria itu.

"Jantung ini bergetar hebat, Dad. Apa- apa Teresa ada di dekatku?" bisik Kieran saat menyadari ada seseorang di kamarnya. Ia pikir Easton datang lagi.

Teresa tidak menjawab. Ia menahan isakan yang hampir keluar dari mulutnya saat mendengar suara lirih Kieran. Namun tanpa disadari air matanya sudah mengumpul di pelupuk kedua mata cokelatnya. Teresa melirik ke arah pendingin ruangan yang mati dan merasa bersyukur karena dengan begitu harumnya tidak akan terbawa sampai hidung bangir Kieran. Ia masih ingin mendengar banyak perkataan pria itu tanpa mengetahui dirinya ada di sana.

"Ia tidak akan memaafkanku bukan? Aku bajingan brengsek yang tidak pantas mendapatkannya. Terkutuklah Redcliffe, dia pria yang sangat beruntung," lanjut Kieran setelah menghela nafas dan masih memejamkan matanya. "Aku sangat menyesal, Dad."

Teresa masih terdiam.

"Aku- aku pembunuh. Aku membunuh anakku sendiri, astaga," Kieran menjambak rambutnya sendiri tampak frustasi. "Adrielku.." Ia mengeluarkan air matanya lagi saat mengingat seorang bayi yang masih berwajah merah dan berkain biru di rumah sakit beberapa tahun lalu.

"Aku membunuhnya, Dad. Aku membunuh Adriel, putra kami.. Dia membenciku, mereka membenciku," isak Kieran.

Jantung Teresa terasa seperti tertusuk belati mengingat kejadian itu lagi. Adrielnya yang manis, baru saja menikmati hidup selama 1 hari. Dengan mirisnya anak itu tewas terbunuh, oleh ayahnya sendiri dengan cara suntikan mati. Saat mengetahui fakta itu, Teresa pingsan dan kepalanya terbentur sehingga mengakibatkan amnesia jangka panjang. Dirinya juga sering berhalusinasi ia memiliki seorang anak. Dan saat wanita itu sembuh, ia memilih meninggalkan Kieran. Walau otaknya memilih untuk meninggalkan Kieran, namun hatinya selalu memimpin jalan untuk kembali ke pria itu.

"Tidak ada jalan kembali bukan, Dad?" Kieran mengepalkan kedua tangannya dan bangkit duduk. "Kenapa kau tidak berkata apapun, Dad? Ayo, marahilah aku. Hajar aku, pukul diriku."

Gagal sudah. Teresa sudah tidak bisa menahan isakan tangisnya. Dan detik itu juga Kieran membuka matanya dan merubah raut wajahnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dingin. Teresa terdiam, bingung akan perubahan sikap Kieran yang sangat cepat. "Pergilah. Berbicara denganku hanya akan membuatmu membenciku lebih lagi, bukan begitu?"

"Kieran, jangan begini-"

"Kau kemari karena pesan yang kukirim kan? Kau mau mengasihaniku? Sayang sekali, Teresa, aku tidak butuh belas kasihanmu."

"Kieran-"

"Pergi, Teresa. Aku mengaku kalah dari Adam Redcliffe. Pria brengsek sepertiku memang tidak pantas diberi kesempatan kedua. Maafkan aku yang sempat tidak tahu diri meminta kesempatan kedua dan selebihnya. Sekarang pulanglah."

"Jangan seperti ini, Kieran-"

"Pulang, Tessa!" bentak Kieran membuat Teresa terkejut dan terdiam.

Air mata wanita itu semakin turun deras melihat perubahan sikap Kieran yang sangat mengejutkan.

Teresa memberanikan dirinya untuk mendekat ke pria itu. Ia mendekap tubuh Kieran dalam pelukan tubuhnya yang ramping dan hangat. "Aku-"

"Pergi sekarang atau aku akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu semakin membenciku, Teresa," ancam Kieran namun Teresa tetap memeluknya seperti tiada hari esok.

"Kau yang meminta." Dan dengan berakhirnya kalimat itu, tiada suara lain di ruangan tersebut selain desahan, dan jeritan penuh kesakitan.

---

Teresa membuka matanya yang terasa berat secara perlahan. Jika biasanya ia membuka mata yang pertama dirinya lihat adalah foto Adriel yang dibingkai di atas nakasnya, kali ini berbeda. Seorang pria tampak memunggungi Teresa, punggung lebar yang berotot jelas terlihat di mata wanita itu. Dan ia tahu benar siapa pria itu. Kieran.

Teresa menitikkan air matanya mengingat bagaimana perlakuan Kieran beberapa jam lalu. Pria itu menyetubuhinya tanpa ampun seperti monster dan memperlakukannya bagaikan pelacur hingga ia pingsan. Lebih dari lima ronde permainan kasar itu berlangsung. Lebih menyakitkannya, Kieran tidak mengizinkan Teresa menyentuhnya sedikit saja. Air mata Teresa terjatuh lagi saat mengingat pria itu mengeluarkan-nya di luar, meringis jijik saat Teresa menginginkan-nya di dalam.

Teresa terbangun dari baringannya. Ia memakai kembali pakaiannya yang lengkap dengan cepat. Kemudian dengan cepat ia melangkahkan kakinya keluar kamar.

"Teresa," ternyata Easton masih duduk di sana dengan wajah kalutnya. "Apa yang terjadi di sana? Mengapa sampai tiga jam?"

Teresa melirik pantulan dirinya di kaca samping ia berdiri. Syukurlah Kieran tidak meninggalkan jejak dirinya di leher atau bagian terbuka wanita itu. Ia kemudian menoleh pada Easton dan tersenyum, "Maaf lama. Ia perlu sedikit bujukan."

Easton tersenyum tipis, "Apa ia sudah baik-baik saja sekarang? Apa kalian berdua sudah kembali bersama?"

"Kuharap begitu," jawab Teresa entah untuk pertanyaan yang mana. "Aku harus pergi sekarang. Jadi.. sampai jumpa."

Easton mengangguk kemudian bangkit untuk memeluk mantan calon menantunya yang ia sayangi seperti putri sendiri itu. "Jaga dirimu, Teresa. Sampai jumpa dan terima kasih."

---

Di luar mansion Kieran, sebelum Teresa naik ke sebuah mobil Uber yang sudah ia pesan, dirinya sempat mendongak untuk melihat jendela kamar Kieran yang terbuka. Ia tersenyum miris saat melihat Kieran yang berdiri di sana dan menatapnya tajam. Namun sedetik kemudian pria itu membuang wajahnya dan pergi dari jendela itu.

Setelah yakin mobil hitam yang Teresa tumpangi itu sudah pergi menjauh, Kieran kembali memperhatikan mobil itu semakin mengecil di kejauhan. Hatinya sakit mengingat bagaimana perlakuan bejat dirinya beberapa jam lalu. Ia terpaksa melakukannya. Dan ia yakin, dengan cara itu Teresa akan semakin membencinya.

Bayangan wanita itu menikah dengan Adam dan memiliki anak bersama pria itu memang menyakitkan bagi Kieran. Tapi akan lebih menyakitkan lagi jika dirinya mengetahui bahwa ia adalah penyebab utama Teresa selalu bersedih.

"Selamat tinggal, Teresa." Air mata Kieran terjatuh bersamaan dengan perginya Teresa.


His HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang