Pulang (Bagian I)

2.7K 50 7
                                    

April

Kurasakan hangat mentari menyentuh wajahku, membangunkanku dari tidur di perjalanan yang panjang. Aku sudah tak mempunyai urusan lagi dengan ibukota karena kuliahku telah selesai. Angin sejuk pagi hari masuk dari jendela bus yang sedikit terbuka, membelai rambutku yang tak begitu panjang. Kulihat di sekitarku tak ada orang selain aku dan sopir bus. Sedangkan di luar, pepohonan lebat berusaha menghalangi sinar mentari untuk mengenaiku.

"Aku hampir sampai," kataku di dalam hati. Aku melihat ponsel yang ada di sakuku, "Baru pukul tujuh pagi." Perjalanan malam hari memang tak begitu melelahkan, hanya perlu tidur dan tak sadar kau akan sampai di tujuan. Aku hampir tak membawa barang apapun selain ponsel yang tadi aku lihat. Barang-barang selama aku tinggal di ibukota sudah kukirim lewat pos. Tadinya aku pesimis apakah barang-barangku akan sampai ke rumah atau tidak karena desa tempat tinggalku termasuk pedalaman, namun adikku mengabari kalau semua sampai dengan selamat. Ia juga berkata kalau di desa sudah banyak perubahan menjadi lebih maju. Aku jadi sedikit penasaran seperti apa desa yang kutinggalkan selama empat tahun itu.

Ada pesan dari adikku yang baru saja masuk, menanyakan aku sampai mana. Ternyata sinyalnya masih bagus walau sudah hampir di desaku. Mungkin apa yang diceritakan adikku ada benarnya, desaku bukan desa yang dulu kukenal. Mungkin.

Pepohonan lebat sudah berganti area persawahan yang hijau dengan gunung yang megah sebagai latar belakang. Aku segera berdiri karena inilah desaku, Tunggal. Aku mendekati sopir dan mengatakan akan berhenti di halte berikutnya. Sopir tadi agak kaget ketika aku menghampirinya, namun ia segera tersenyum dan meminggirkan kendaraannya. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya, ia membalas dengan, "Hati-hati!"

Aku agak heran dengan peringatannya, namun bukankah kata-kata itu hal yang lumrah untuk diucapkan ketika berpisah? Namun mengapa terasa ada yang aneh? Perasaan itu hilang ketika di halte sudah ada ayah dan adikku menghampiriku dengan senyuman. Mereka menjemputku dengan dua buah sepeda. Ternyata desaku belum sepenuhnya berubah, masih sesederhana sepeda yang dipakai ayah, adik, dan masyarakat sekitar.

Kami langsung pulang. Aku membonceng adikku, sedangkan ayahku terlihat agak tergesa-gesa, maklum ini bukan hari libur dan masih ada sekolah yang harus ia urus. Ayahku pergi lebih dulu, sedangkan aku menyuruh adikku untuk melambatkan kayuhannya. Aku ingin menikmati pemandangan yang telah lama tak aku lihat.

Kuhirup udara yang segar karena penduduk masih setia bersepeda. Di kanan-kiri membentang sawah dan beberapa petani yang dengan sabar menggarapnya. Meski begitu, ada beberapa hal yang baru, seperti tower pemancar operator seluler, tiang-tiang listrik, bahkan di pinggir jalan ada ATM dan mesin penjual minuman otomatis.

"Mau minum sebentar?" tanya adikku dan aku meng-iya-kannya. Aku duduk di tempat duduk samping mesin penjual minuman otomatis. Adikku memasukkan beberapa koin dan ia kembali dengan dua kaleng minuman. Aku membuka kaleng dan meminumnya sambil melihat pemandangan yang masih membuatku takjub karena terlalu lama di ibukota.

"Banyak yang berubah, namun banyak juga yang tak berubah," kataku yang masih memandang ke gunung yang jauh di sana.

"Penduduk di sini sangat sederhana. Mereka tak pernah berpikir berat. Lakukan saja apa yang tokoh masyarakat sarankan dan semua akan baik-baik saja, begitulah pemikiran mereka," kata adikku yang meminum susu vanilla.

"Jadi tokoh masyarakat menyarankan agar terbuka dengan perubahan, namun jangan melepaskan jati diri desa ini, begitu?" tanyaku dengan kaleng susu coklat di tanganku, adikku bahkan masih ingat minuman kesukaanku.

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang