Pulang (Bagian III)

953 25 2
                                    

Sudah menjadi tradisi Tunggal bahwa tiap akhir bulan akan ada pasar malam. Seperti malam ini, 30 April, aku sudah berada di lautan manusia. Jika dua malam yang lalu aku berjalan-jalan sendiri, kini aku juga berjalan-jalan sendiri namun di tengah penduduk yang lalu-lalang untuk menikmati pasar malam ini.

Dengan es dawet di tanganku, hal ini mematahkan asumsi bahwa malam selalu dingin. Aku justru merasa gerah berada di tengah-tengah keramaian. Di samping SD hingga di dalam pasar sudah ada banyak warung dadakan yang menjajakan jajanan. Sedangkan di lapangan terbagi menjadi dua, di satu sisi area penuh wahana permainan dan adu ketangkasan, di satu sisi area yang kini kosong karena akan digunakan nanti ketika pemutaran film layar tancap.

Aku mencari tempat sampah yang tidak sulit untuk ditemukan. Pasti para tokoh masyarakat sudah menginstruksikan setiap warung untuk menyediakan tempat sampah. Seperti biasa, warga hanya menuruti apa kata tokoh masyarakat tanpa protes sedikit pun. Di depan pohon beringin besar di antara sekolah dan pasar, kulihat ada seseorang yang sangat kukenal sedang meminum kopi di warung tenda. Warung itu tampak paling sepi di antara warung-warung yang ada.

"Apa kau begitu menyukai kopi?" tanyaku yang langsung duduk di sebelahnya, "Ah, jangan dijawab, pasti kau akan menjawab dengan filosofi pahitnya hidup, Ayah."

Ia tersenyum dan masih memandang ke wahana di kejauhan, "Jadi, bagaimana? Kau sudah teringat masa lalumu di sini?"

"Sejak SMA aku bahkan tak pernah lagi naik wahana," kataku memandang jauh ke bianglala yang berputar perlahan. Bianglala itu hanya akan memberikan tiga putaran, tidak lebih.

"Tapi sejak SMA kau selalu pergi berdua dengan Alya dan kau terlihat sangat bahagia mengikutinya ke manapun ia pergi," kata ayahku masih dengan kopi di tangannya, "Malam ini kau tak mengajaknya? Atau kau tak diajak?"

"Dia pergi bersama dengan pelayan lain tempat ia bekerja."

"Atau jangan-jangan bersama pacarnya?"

"Jangan bercanda, mana mungkin gadis kasar seperti dia...."

"Nah, kau tak terima."

"Bukan begitu," aku seperti mengelak setelah berbuat kesalahan, "Dia hanya teman bagiku, Ayah. Dia tahu semua tentangku, tentang keburukanku, mana mungkin ia menyukainya."

"Kau tak akan pernah tahu kalau kau tak bertanya," kata ayahku menghabiskan kopinya, ia memesan dua gelas lagi, "Bagaimana dengan Adit?"

"Dia berangkat lebih dulu dengan teman lesnya," kataku menjelaskan tentang adikku, "Lantas, bagaimana dengan ayah? Mengapa seorang tokoh masyarakat berada di sini sendirian?"

"Aku tak sendirian, Dana. Lihat, banyak orang di sini. Kau harus belajar membedakan kesendirian dan kesepian," lagi-lagi ia berbicara filosofis, "Ayah hanya memilih tempat yang tak begitu banyak pembeli, lihat, di tempat lain bahkan banyak yang mengantri sampai di luar tenda."

"Orang yang sesederhana desa ini, padahal terlihat rumit di luarnya," kataku melihat pesanan sudah datang, ayah langsung meminum walau masih panas, "Lalu, mengapa orang yang sederhana ini mau menjadi kepala desa sementara? Apakah sekolah saja tak cukup untuk kau urus?"

Ayahku berhenti minum sejenak, ia terlihat memikirkan kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaanku, "Kau tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabmu."

"Mengapa ayah harus bertanggungjawab? Menjadi kepala desa Tunggal sama halnya menjadi Tunggal itu sendiri. Ia memegang kendali semua yang terjadi di desa. Ketika terjadi sesuatu yang salah, kau akan disalahkan dan kau tak lagi punya kehidupan."

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang