Pulang (Bagian II)

1.4K 28 6
                                    

Obrolan kami mengalir bagai aliran sungai, tenang dan perlahan, hingga kami keluar minimarket dan melanjutkan jalan-jalan malam. Ia melenggang bebas di tengah jalan karena tak khawatir saat tengah malam ada kendaraan yang melintas, kendaraan besar yang melintas paling hanya bus yang datang setiap pagi seperti bus yang kutumpangi tadi. Aku berjalan sambil menuntun sepeda ke arah mesin penjual minuman otomatis.

Dari yang kuperbincangkan dari tadi, aku bisa tahu kalau Rani juga menyukai sastra sepertiku. Ia bekerja di klinik perempatan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Ia orang yang ceria, namun tiba-tiba ia sering seperti orang yang sedih, mungkin ini yang disebut moody. Atau semua perempuan memang gampang berubah seperti itu? Entahlah.

"Apa memang kau suka berjalan-jalan di malam hari seperti ini, Rani?" tanyaku padanya yang masih menari-nari mempermainkan langkah kakinya di tengah jalan.

"Mungkin," katanya sambil tersenyum, manis? "Hanya saja aku lebih suka suasana seperti ini, sepi, menentramkan. Malam itu jujur, tak pernah berbohong, hanya saja mereka sering salah sangka dan menyalahkannya. Malam memang dingin, namun bukannya mereka sering mengolok-olok siang hari dengan panasnya? Bukankah mereka yang benar-benar tidak jujur?"

Entah siapa mereka itu, namun pemikiran Rani memang berbeda dengan orang kebanyakan, dan aku menyukai pemikirannya itu. "Mungkin dari apa yang kukatakan dari tadi ada yang membohongimu juga, lo."

"Tak apa," kata Rani dengan senyum yang tak hilang dari wajah polosnya, "Aku memutuskan untuk mempercayaimu sejak pertama melihatmu."

Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu mempercayaiku. Kupinggirkan sepeda dan duduk di dekat mesin penjual minuman otomatis, Rani kembali duduk di sampingku. Aku melihat ke atas, lampu jalan di dekatku begitu silau, dihiasi sedikit serangga yang mungkin mencari kehangatan dari cahaya itu. Cahaya itu terus turun ke bawah, ke sampingku, menerangi sosok yang perlahan membuatku kagum. Perkataannya selalu mendalam, ciri khas seseorang yang menyukai sastra. Ia pasti sudah mengalami banyak hal dalam hidupnya hingga memiliki pemikiran-pemikiran yang berbeda. Namun ia tak meninggalkan umurnya sesungguhnya, ia masih plin-plan. Ia masih seperti anak-anak yang beranjak dewasa, tak meninggalkan ciri khas usianya.

"Kunang-kunang ingin bersaing dengan bintang-bintang, menghiasi gelapnya sawah dengan terangnya yang tak seberapa. Namun angin malam peralahan menyapu mereka," kata Rani mendeskripsikan apa yang ada di hadapannya sekarang, "Lampu jalan, kunang-kunang, bintang-bintang, rembulan, semua bersaing menjadi pemikat mata ketika sang surya tak ada. Suara kodok di kejauhan seakan tak mau kalah dari suara angin yang berhembus. Tak ada yang benar-benar hening, walau malam sekali pun. Tak ada yang benar-benar gelap, walau malam sekali pun. Malam dan siang hanya masalah waktu, tak ada yang benar-benar berbeda."

"Kau sedang meniru gaya bahasa seorang penulis?" tanyaku mencoba memahami perkataannya yang lagi-lagi mengalir seperti sungai.

"Mungkin? Coba tebak," katanya seperti sedang mempermainkanku dengan senyumannya yang kadang ada dan kadang hilang.

"Ahmad Tohari?"

"Mungkin," ia tak membenarkan maupun menyalahkan jawabanku.

"Mungkin memang sedikit seperti beliau, ia selalu menggambarkan suasana desa dengan begitu terperinci dan tak melewatkan detail sedikit pun. Bagiku suasana desa ini sudah seperti Ahmad Tohari, ia begitu sederhana namun memiliki banyak makna."

"Kau memang kutu buku, ya, Dana?"

"Apalagi yang kulakukan selama ini selain berkutat dengan hal itu?" kataku, "Banyak yang berpikir mempelajari sastra adalah hal yang buang-buang waktu. Namun, kalau bukan kita yang mempelajari sastra negeri sendiri, siapa lagi?"

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang