Waktu

593 22 0
                                    

Juni

Pernahkah kau mencoba membuat mi instan dengan rasa yang semirip mungkin dengan rasa mi instan yang dibuat oleh penjaga warung? Mungkin kau sudah melakukan perencanaan yang matang, kau meniru cara penjual membuat mi. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalanmu dalam meniru rasa, bisa jadi itu takaran air, banyaknya bumbu, atau timing dalam merebus mi dalam air. Perbedaan satu faktor kecil akan membuat persentasi keberhasilan menurun.

Kali ini bukan soal mi instan, kami gagal melaksanakan perencanaan kami untuk dapat sampai di Tunggal saat pagi hari pada tanggal 12 Juni. Di tengah jalan, bus mogok dan terlihat sopir sedang berusaha memperbaiki mesin kendaraan. Aku, adikku, dan Alya duduk di tepi jalan di belakang bus, memperhatikan penumpang lain yang mondar-mandir dan cemas karena urusan mereka akan tertunda.

"Kalau pun kita sampai di Tunggal, kita tak sempat beristirahat," kata adikku.

Angin kembali berhembus, namun tak bisa meredakan ketegangan yang kami bertiga hadapi, "Aku bahkan tak berpikir bisa tidur di situasi ini."

"Benar juga," kata adikku menghela nafas.

"Apa pun yang terjadi, kita akan langsung ke lapangan," kata Alya, ia juga sama resahnya walaupun kupikir ia yang paling memiliki ketenangan di antara kami.

"Apa mereka masih akan melakukan ritual lagi setelah mengetahui bulan lalu mereka gagal menghentikan pembunuhan?" tanyaku mengingat-ingat peristiwa menyesakkan itu, "Mereka sebelumnya sangat percaya diri dan melantunkan mantra-mantra, namun langsung terdiam ketika melihat Pak Dahlan tergeletak tak bergerak seperti Tuhan telah meninggalkan mereka."

"Itu juga termasuk kami," kata Alya, benar juga, adikku dan Alya juga mengikuti ritual itu, "Kami hanya tak tahu apalagi yang bisa kami lakukan. Setidaknya harapan juga salah satu bentuk usaha."

"Aku juga sama saja," aku menghela nafas, "Aku tak bisa menghentikan kematian Pak Dahlan."

"Tapi sekarang kita sudah berubah," kata adikku mencoba memberi motivasi pada kami, "Setidaknya kita mencoba untuk berjuang."

Aku dan Alya saling memandang dan tersenyum mendengar kata-kata bijak keluar dari seseorang yang umurnya jauh di bawah kami. Sopir bus sepertinya sudah selesai membetulkan mesin dan mendatangi kami. Ia meminta kami dan penumpang lain untuk membantu mendorong bus.

Kami beranjak dan mulai mendorong bus bersamaan. Bus ini tak kan berjalan bila sopir hanya sendiri, namun jika bersama-sama, bus yang mogok ini akan berjalan seperti sedia kala. Benar apa yang dikatakan adikku, setidaknya kami mencoba untuk berjuang.

***

Malam telah larut ketika kami sampai di halte Tunggal. Kami berjalan sambil merenggangkan otot yang kaku karena perjalanan jauh. Kami tak membawa barang bawaan apapun karena memang kami pergi ke Tunggal hanya untuk menjalankan misi kami, menghentikan kematian selanjutnya. Karena terlalu lelah kami mampir di minimarket dan membeli minuman.

Kami duduk memandang langit sambil duduk di tempat duduk sebelah dinding kaca minimarket. Aku kembali melihat langit yang sama dengan waktu itu, ketika seseorang berbicara banyak tentang lampu jalan, kunang-kunang, bintang-bintang, dan rembulan yang semuanya menyinari malam.

"Di tempat ini aku pertama kali bertemu dengan Rani," kataku dengan masih memandang langit, aku tahu dua orang di sampingku sedang menatapku dengan tatapan heran, "Aku tahu, ia sekilas berbeda, namun aku tak memperdulikannya karena ia bertingkah sama seperti manusia biasa pada umurnya. Ia juga tak pernah membuat-buat sikapnya, ia bercerita panjang lebar tentang kesukaannya pada buku dan tetap bertingkah seperti anak kecil."

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang