05. Thankyou

443 68 17
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


****

Hera berlari dengan cepat menuruni anak tangga. Enggan bertemu dengan Alden, lagi. Rasanya tadi cukup ia bertengkar dengan Alice, Hera tidak ingin menambah daftar musuh lagi hanya karena ia dekat dengan Alden.

Lagipula, Alden apa bagusnya sih?

Kalaupun Hera naksir produk lokal, minimal sekelas Jefri Nichol atau Iqbaal. Atau jika dalam sekolahnya ia akan menyukai Raka, pentolan eskul karate. Alden? Tidak sama sekali. Hera bahkan baru tau bahwa Alden adalah siswa sekolahnya setelah beberapa waktu lalu Alden gencar mendekatinya.

Hera sekarang berada di halte bis yang tidak terlalu jauh dari sekolahnya. Ia menghela nafas lega, setidaknya Alden tidak mengejarnya. Yah, dia bisa aman untuk kali ini setidaknya. Sialnya bis yang Hera tunggu tidak datang sedari tadi. Hitungannya ini sudah dua puluh menit sejak Hera menunggu di halte ini.

Bagus.

Hera menghela nafas, oke tunggu lima belas menit lagi. Sudah lima belas menit, tidak ada tanda kalau bis akan datang. Hera menghela nafas dan membuka aplikasi gojek miliknya, ia memutuskan untuk pulang kerumah dengan ongkos sepuluh ribu rupiah ketimbang sampai dirumah esok hari.

Baru saja Hera ingin menekan lokasi tempat ia dijemput, sebuah motor mengklaksoni Hera dengan kencang.

"Mbak Hera ya?" kata si pengemudi, sambil tertawa. Itu Alden.

"Ah, bukan mas. Nama saya Eunha." jawab Hera sengit sambil menyindir Alden.

Alden tersenyum, lalu melepas helmnya dan menaruhnya di motor sementara ia menghampiri Hera di halte. "Lo berantem tadi sama Alis?"

"Hah? Alis?" tanya Hera tak paham. Sejak kapan ia punya teman bernama Alis? "Alice maksud lo?" lanjut Hera.

"Nah iya, si Elis." jawab Alden sambil menjentikkan kedua jarinya.

Hera terkekeh, "Namanya Alice, ei-lis. Bukan Alis ataupun Elis. Kampungan." cerocos Hera.

Alden tersenyum bodoh. Entah kenapa ia senang dengan jawaban Hera. Rasanya ia hanya bahagia melihat Hera tertawa seperti ini. Ada satu perasaan yang tak dapat ia jelaskan bagaimana rasanya, hingga orang itu merasakannya sendiri.

"Jawab gue," kata Alden menuntut.

"Kalo iya kenapa?" jawab Hera acuh. Ia hanya tak ingin emosinya tersulut lagi saat ini.

"Ya gapapa???" balas Alden lagi.

Hera menggeram kesal, "Ya kalo gitu lo ngapain nanya?!"

"Biar lo kesel."

"HHHHHH, Bodo amat Alden. Gua gak peduli." akhir Hera, Alden memang selalu memancing emosinya.

"Balik bareng gua aja yuk?" tawar Alden.

Fangirl StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang