1. BIRU

273 8 0
                                    


Sepeda motor itu meluncur cepat melewati gang-gang sempit. Walau hampir menabrak sekawanan ayam, ia tetap tak menurunkan kecepatan motornya. Dimaki-maki oleh tetangga sudah menjadi hal biasa. Bukan karena motornya yang butut, bukan karena penampilannya yang tak terurus, ataupun karena seringkali menabrak jemuran-jemuran tetangga. Namun, karena mereka menggunakan satu motor untuk berbonceng tiga. Bahkan jok motor itu tampak tak muat lagi hingga si supir hanya kebagian secuil. Di tengah perjalanan, motor itu melaju tersendat-sendat.

"Waduh! Kenapa, nih?" tanya Dimas, si supir, diiringi dengan matinya mesin motor di tengah jalan raya.

"Parah banget emang, ya. Motor lo kalau ngadat emang nggak tau waktu! Ini hari pertama sekolah, Dimas. Dan ini udah jam tujuh, lagi," keluh seorang gadis yang duduk di belakangnya sembari turun dari motor. Panggil saja Saviera.

Perempuan berseragam sekolah yang duduk paling belakang, Adsa, langsung sigap mendorong motor butut itu tanpa diminta.

"Daripada lo ngedumel, mending bantuin Dimas dorong, deh. Masih beruntung cuma motor yang ngadat. Terimakasih, Dewi Fortuner," ucap perempuan itu dengan menunjukkan wajah sok kuat sambil menyingsingkan lengan bajunya.

"Dasar Adsa gila! Mana ada yang namanya Dewi Fortuner? Lo kira sales mobil?"

"Maksudnya Dewi Fortuna, elah, dewi keberuntungan. Jangan nge-gas, dong. Gas elpiji lagi naik harga, kan mubazir," ucap Adsa.

Saviera lantas membalas, "di sebelah sana ada bengkel, biar dibenerin dulu, kita langsung aja ke sekolah naik angkot gimana?" Sebelum  ada yang menjawab, ia menambahkan, "yaudah gue tunggu di bengkel, semangat dorong motornya, ya!"

"Eh, enak aja lo, Sav. Jangan pergi, woi!" teriak Adsa dan Dimas bersamaan.

Setelah mendengar ocehan Saviera yang tak henti-hentinya tentang motor Dimas yang tak berperi kemotoran, akhirnya angkot yang ditunggu-tunggu datang juga. Saat mereka naik, tak ada seorang pun penumpang selain mereka. Supir angkot yang memang biasanya mangkal di sana ingin menunggu hingga angkot penuh oleh penumpang.

"Ini jam berapa?" tanya Dimas santai.

Saviera yang memakai jam tangan spontan mengecek, "INI JAM LAPAN, YA AMPUN!" ia cemas seketika, "mendingan kita nggak usah masuk sekalian, deh. Daripada kena hukum sama kakak kelas, repot jadinya."

"Eh, udah capek-capek dorong motor, enak banget akhirnya nggak jadi sekolah," balas Dimas kesal.

Tak ada angin, tak ada hujan, suara Adsa memecah kepanikan temannya yang menjadi semakin panik, "Pak! ada tikus di sini! Pantesan angkotnya sepi, ternyata jorok banget!" ia lalu turun dari angkot masih dengan ekspresi meyakinkan pak supir.

Saviera yang sebenarnya tak melihat satupun hewan tersebut lantas menjerit-jerit bingung di dalam angkot. Saat supir angkot itu hendak mengecek, Adsa membuka pintu dimana Dimas duduk yaitu di kursi depan, lalu menyuruhnya bergeser ke tempat duduk supir.

"Gas, Dim! Gas, gas, gas! Buruaan!" Dimas langsung menjalankan angkot menuju sekolahnya. Supir angkot yang berada di tempat duduk penumpang untuk mengecek kebenaran angkotnya ditumpangi tikus berusaha meraih-raih Dimas dengan tangannya, hendak mengambil alih kendali, namun terhalang oleh dua anak SMA yang berlagak satpol pp ini.

"Pegangin tangannya, Sav! Tahan, tahan. Bentar lagi nyampe!" sahut Dimas panik kuadrat.

Angkot itu berhenti di sebuah gedung yang tampak tua. Gerbangnya sangat tinggi dan besar, terlihat rapuh dan berkarat. Sekitar sepuluh anak berseragam SMA yang rupanya baru datang, sedang bercakap-cakap di luar sekolah. Satpam dengan seragam khas hitam-putihnya berjaga di balik pagar. Wajahnya lelah, dengan kantung mata tergantung di wajahnya. Mungkin ia merasa sudah cukup sabar menghadapi murid-murid tak disiplin ini, ia lekas duduk-duduk di dalam posnya, menyalakan TV sambil menyeruput kopi.

RintikWhere stories live. Discover now