Hantaman keras kali ini melayang dan mendarat tepat di rahang. Seorang lelaki terhuyung sambil mengusap darah tipis yang keluar dari bibirnya. Semesta memang sudah mulai iba menyaksikan pertunjukan duniawi yang tak kunjung pudar ini; perkelahian. Sesuatu harus direncanakan, mengubah arah dari jalan cerita yang sudah dilukiskan sebelumnya. Lihatlah lelaki ini, baru lima belas tahun ia hidup, tapi kebesaran hatinya untuk terus membela yang lemah tak pernah goyah dalam sanubarinya."Kalau lo punya hati," lelaki itu menunjuk seorang ibu tua di kejauhan, "ibu itu pasti masih bisa ngasih makan anak-anaknya besok! Sayangnya, otak aja lo nggak punya. Nggak pernah punya ibu apa gimana, sih? Lo dilahirin siapa? Dilahirin pisang, ya, cuman punya jantung, nggak punya nurani!"
Hantaman sekali lagi membuatnya tersungkur.
"Adriell!" cewek seumurannya berlari menerobos kerumunan.
"Gue nggak papa," jawabnya singkat, dengan memalingkan wajah.
Ia tampak tenang, tak seperti perempuan itu, "Nggak papa gimana? Gue panggil ambulan yaa?" ia memegang erat tangan Adriell, berusaha menjadi perempuan yang selalu ada untuknya.
"Nggak perlu. Lo kira gue bayi?" jawaban ketus darinya membuat perempuan itu bungkam.
Adriell berjalan menjauh. Ia lantas menghiraukan segala rasa sakit di tubuhnya, dan berlari kecil menghampiri seorang ibu pedagang sayur yang tak jauh dari sekolah mereka. Semua dagangan ibu itu berhamburan di jalan raya. Lelaki yang ia jadikan target kemarahannya adalah kakak kelas yang sengaja menabrak gerobak sayur itu karena dianggap lelucon yang tak pantas ada di dekat sekolah mereka.
"Terima kasih banyak ya, Nang. Sudah, tak perlu repot-repot dibersihkan," ibu itu mendekati Adriell yang memungut tiap-tiap sayur yang berjatuhan.
"Ibu ini kerugiannya berapa? Saya beli semuanya ya, Bu. Sebagai tanda maaf teman saya."
Ibu itu menggeleng kuat. "Mboten usah, Nang. Mboten usah."
Adriell tersenyum hangat, "Kula mlebet rumiyen, Bu." Ibu itu membalas senyum tulusnya. Syukurlah masih ada anak muda yang menghargai orang-orang yang lebih tua, tanpa peduli siapa mereka di dunia ini, orang penting, kah, atau sekedar pedagang sayur yang senantiasa dipandang sebelah mata oleh orang-orang jaman sekarang.
Perempuan itu resah, berjalan mondar-mandir di depan ruang BK yang dianggap ruang maut bagi siswa-siswanya. Adriell yang ada di dalamnya malah tenang-tenang saja. Sering membuat keributan di lingkungan sekolah membuatnya hampir saja di drop out, namun itu adalah ultimatum yang sudah siap ia dengar dari pertama kali melangkahkan kaki ke ruangan BK. Yang membuat dirinya gusar yaitu ketika gurunya menyinggung masalah SPP yang tak kunjung dibayarkan. Padahal sekolahnya adalah sekolah swasta yang hampir semua muridnya adalah anak-anak orang kaya. Ia terkejut akan hal ini, bisa-bisanya ayah lupa membayar uang sekolah karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ketika keluar ruangan, ia melihat Kessya, perempuan anggun yang sedang dekat dengannya itu, sedang menunggunya di luar.
"Adriell.." panggilnya lembut, berusaha menutupi nada kecemasan dalam suaranya. "Ada apa, Ell?" ia berhenti sejenak, menatap risau punggung Adriell, "Apa semuanya baik-baik saja?"
Kessya menggenggam lengan Adriell, namun lelaki itu bahkan tak menoleh. Adriell menyeringai sinis, melepaskan sentuhan lembut di lengannya, lantas melangkah pergi.
Tak ada yang lebih memilukan hatinya, kalau Adriell sedang kumat bersikap dingin. Namun sosok itu memang selalu menjadi bayang-bayang yang tak mudah ia pahami. Seolah hati dan pikirannya sudah tergembok dalam kebisuan, dan dirinya hanyalah kunci utopis semata.
YOU ARE READING
Rintik
Teen Fiction"Kita resmi musuhan. Cuma dengan cara ini, gue bisa hadir dihari-hari lo." -Adriell Farrel. "Gue benci sama lo. Cuma dengan alasan ini, gue bisa terus mikirin lo." -Aeera Rintik Aleasha Adsa adalah rintik yang rela terjatuh berulang kali agar bisa m...