Adriell baru saja membuka gagang pintu kamar, ketika penghuni lain di rumah sempit itu perlu bicara empat mata.
"Nak, Ayah perlu bicara sama kamu."
Sudah ia duga. Adriell menutup pintu kamarnya kembali. Berjalan malas mendekati ayahnya yang duduk beralaskan tikar tipis.
"Apa lagi yang Ayah harapkan dari saya?"
"Hanya satu permintaan Ayah, Nak. Baru setelah itu Ayah ceritakan semua rahasia yang perlu kamu ketahui, dan kamu bisa berbuat apapun sesukamu. Satu saja," mohon Ayahnya dengan tegas.
"Simpanlah itu sendiri, Yah. Saya tidak peduli lagi." Adriell membalikkan badan. Ia tak pernah bisa menganggap Ayah seperti ayahnya yang dulu ia sayangi. Semua sudah berubah sekarang.
"Ini soal masa depanmu," tutur Ayah. Adriell tak acuh, berjalan menuju kamarnya. "Dan soal Ibumu."
Adriell berhenti. Semua hal tentang ibu berarti baginya.
"Permintaan terakhir Ayah, Adriell. Lalu kau bisa bertemu ibu sesuka yang kau mau. Kau boleh tinggal bersamanya. Ayah tak akan peduli."
"Apapun, Ayah." Ia menatap Ayah lekat. "Akan saya lakukan."
***
Hujan deras menyiram bumi. Suatu anugerah tersendiri bagi Adsa, ia bisa melihat rintik hujan berjatuhan dengan perpaduan kesibukan seisi kota yang membosankan. Gadis itu berdiri berhimpitan di dalam bus. Memberi kursinya pada orang yang lebih tua adalah keharusan. Berdiri dan melihat keluar jendela dengan segala sudut pandangnya adalah kebiasaan.
Buka mata kalian. Hujan adalah pertunjukan alam terhebat yang pernah ada. Setiap tetesnya adalah kisah, harapan, juga perasaan. Setiap nadanya adalah melodi yang tak pernah disangka liriknya. Suara hujan selalu menjadi orkestra magis dengan angin, dedaunan, dan petir sebagai pengantarnya. Karena tak hanya sampai di telinga, suara hujan selalu mengalir ke dalam sukma jika dibiarkan begitu saja.
Ia bisa membuat perempuan di sudut toko sana jujur akan perasaannya dengan lelaki yang sebenarnya tak pernah ia cintai. Atau membujuk seorang bapak-bapak berseragam rapi menyerahkan satu-satunya jas hujan yang ia miliki untuk anak jalanan di bawah pohon. Juga memaksa sepasang suami-istri yang sudah renta untuk berteduh, saling menghangatkan, dan berbagi kisah satu sama lain.
"Hoi." Seseorang di sebelahnya sengaja menginjak kaki Adsa.
"Aduh!" Ia mengernyit kesakitan memandang luka di kakinya.
"Sorry. Gue lupa kaki lo sakit."
Mendengar suara itu, Adsa langsung mendongak mencari sumber permasalahan.
"Adriell!" Gadis itu menyikut lengannya. "Terima kasih sudah menganiaya kaki gue dua kali." Ia memperhatikan lagi luka di kakinya yang belum sembuh. Namun sesuatu di dekatnya lebih menarik.
"Lo ngapain pakai sandal jepit juga? Kaki lo juga sakit?"
"Hmm..." Adriell nampak mencari sebuah alasan. "Kalau hujan mending pakai sandal jepit, kan?"
"Bilang aja lo ngerasa bersalah terus mau ikutan pakai sandal jepit ke sekolah, kan? Ngaku lo!"
Buset, pikirnya.
"Lo pikir kita couple goals yang ada di sosmed gitu? Pakai sandal jepit kembar? Ogah amat," ujar Adriell.
Adsa hanya tersenyum. Ia memandang kembali mahakarya di luar jendela. Adriell mengencangkan pegangannya dari atas bus. Ia meneliti segala hal tentang Adsa; rambutnya yang lurus dan selalu dibiarkan tergerai, hidungnya yang mancung, matanya yang berkilau setiap tak sengaja bertatapan terlalu lama, atau senyumnya yang selalu tulus pada siapapun. Mungkin tak ada orang lain yang menyadarinya, namun Adriell bersyukur bisa menyadari pesona Adsa lebih dulu dari yang lain.
Mikir apa, sih, gue? Tolong otak jangan mikir yang aneh-aneh. Tolong, batinnya berkecamuk.
"Lo ngapain, sih, senyum-senyum? Stress, ya?" Adriell meletakkan tangannya pada dahi Adsa, ingin mengecek jika kepala Adsa panas.
"Enak aja," jawab Adsa malas, "Gue lagi menjalani misi rahasia. Biasalah."
Adriell tertawa renyah. Cewek di sampingnya ini selalu punya hal unik yang membuatnya penasaran.
"Misi apa? Kasih tau gue."
"Rahasia, ah."
"Kasih tau gue, atau identitas lo sebagai alien akan gue sebar!"
Adsa tertawa lepas. "Jangan gitu, dong. Nanti kita berdua masuk rumah sakit jiwa...."
"Bukankah memang sebenarnya setiap manusia pernah tersakiti jiwanya?" tanya Adriell.
Diam sejenak.
"Setuju."
Senyap kembali.
"Gue cuma lagi mengidentifikasi unsur intrinsik dari kisah yang berjalan saat ini. Dan gue paling suka ambil peran di bagian sudut pandang."
"Maksudnya?"
"Gue lagi ambil peran, Ell. Melakukan apa yang kata guru bahasa Indonesia kita pernah bilang, yaitu 'sudut pandang orang ketiga pengamat'. Sudut pandang favorit gue. Semua yang lagi berlangsung terasa menarik untuk diamati. Indah dengan caranya tersendiri."
Adriell hanya diam mengamati Adsa yang bercerita.
"Kalau lo? Seandainya unsur-unsur itu hidup, lo mau jadi apa?"
Adriell tersenyum. Pertanyaan yang berat.
"Jadi konjungtor mungkin." Ia mengedikkan bahu. "Sebagai penyatu. Menyatukan kata dan kalimat."
Adsa tertawa mengejek. "Jadi penyatu? Lo aja pasti nggak bisa menyatu dengan masa lalu lo, kan?"
Tepat, pikirnya. Gue memang belum bisa.
"Konjungtor apa kalau gue boleh tahu?"
"Hubungan sebab-akibat." Adriell menatap Adsa yang balik menatapnya. "Lo suka mengamati orang lain. Oleh karena itu, diam-diam orang lain juga suka mengamati atau merhatiin lo, Adsa. Contohnya gitu. Disetiap harinya, hidup ini selalu tentang sebab-akibat."
Adsa menganga. "Setuju." Senyuman Adriell adalah balasannya.
Pintu bus terbuka otomatis. Mereka harus turun ke halte. Hujan mereda. Cukup sampai sekolah saja hujan menemani mereka berdua. Adsa dan Adriell berjalan bersisian hingga seseorang dari dekat gerbang menyapa gadis itu.
"Adsa!" Biru berteriak saat Adsa menyebrang jalan.
"Kak Biru." Biru memperhatikan Adriell dari ujung atas hingga bawah, memberi tatapan mengancam.
"Gue duluan, Sa," ujarnya.
"Duluan aja sana ke neraka..." balas Adsa berusaha mencairkan suasana.
"Awas lo! Pulang sekolah nanti gue habisin," Adriell pura-pura kesal.
Di saat itu pula Biru mengeluarkan payungnya untuk melindungi Adsa. Adriell memelankan lajunya, memperhatikan Adsa dari jauh. Biru berusaha merangkul gadis itu. Namun ia menepisnya. Sebagian dari dalam diri Adriell berteriak girang. Walaupun akhirnya Biru berhasil mengaitkan jari-jarinya pada jari Adsa. Yang tak pernah ia lakukan sebelumnya.
****************
jangan lupa vote dan komennya ya! terima kasih:D
YOU ARE READING
Rintik
Teen Fiction"Kita resmi musuhan. Cuma dengan cara ini, gue bisa hadir dihari-hari lo." -Adriell Farrel. "Gue benci sama lo. Cuma dengan alasan ini, gue bisa terus mikirin lo." -Aeera Rintik Aleasha Adsa adalah rintik yang rela terjatuh berulang kali agar bisa m...