10. LO?

54 4 0
                                    


Suasana sunyi menyerbak di segala penjuru. Adriell melangkah. Tangannya terkepal. Wajahnya keras. Sorot matanya teduh, namun pancaran kepedihan dari kedua matanya tak dapat terelakan. Ia berlari. Didorongnya pintu itu cepat-cepat.

"Ayah?"

Kedua pasang mata sendu beradu di antara kata-kata yang tak pernah terucap. Ayah beranjak berdiri setelah melihat anak satu-satunya datang. Lagi-lagi, ayah memalingkan wajah dan berusaha bersikap keras.

"Urusi Ibumu!" ucap Ayah.

Adriell kehabisan kata-kata. Ayah melangkah pergi.

Seorang wanita separuh baya terbujur kaku di atas sebuah ranjang putih. Dulu saat ia masih kecil, ia sering berada di sini. Adriell mendekat. Dilihatnya selang oksigen yang sekarang menghiasi wajah ibu seperti halnya dulu kala. Tangan ibu kaku. Badan ibu kaku. Senyum ibu kaku. Adriell menggenggam tangan ibu seperti dulu ibu pernah menggenggam tangannya. Ia memperhatikan helai-helai rambut ibu yang memutih, ataupun kerut-kerut di wajah ibu yang terukir magis bersama waktu namun tetap berpendaran jelita surgawi. Cantik, wajah Ibu cantik, pikirnya. Seandainya ibu menjadi muda lagi, ia yakin ia akan langsung jatuh hati pada kecantikan ibu yang.. tak terhingga.

Adriell minta maaf..

Adriell minta maaf..

Jangan tinggalin Adriell lagi..

Adriell minta maaf..

Semesta memang tak pernah adil kepada dirinya. Tak sekalipun pernah. Mengapa seorang wanita dengan inkarnasi kemurnian hatinya dibiarkan terpejam begitu lama? Adriell tak habis pikir bagaimana Tuhan mengatur dan mengkonfigurasi segala benang takdir yang ada. Ini semua salah Ayah, pikirnya. Tak ada yang lain lagi, semua ini salah Ayah.

Adriell beranjak.

"Adriell tak ingin mendengar kabar bahwa keadaan Ibu memburuk," bisiknya, "kata Dilan, biar aku saja, Ibu nggak akan kuat."

Adriell tersenyum, senyum tulus yang tak pernah ia beri pada siapapun, kecuali ibu.

"Tapi Adriell lupa, Ibu nggak kenal Dilan. Kenalnya pasti Budi, Suparman, Tejo, atau enggak Joko. Iya kan, Bu?"

"Adriell pamit ya, Bu. Nanti malam Adriell ke sini lagi. Cepatlah bangun, Ibu terbaik sepanjang masa."

"Maaf belum bisa membahagiakan Ibu sepanjang usia."

Satu kecupan mendarat di kening Ibu.

***

Seikat bunga sudah digenggamnya. Adsa baru saja membeli berbagai macam bunga dalam rangka mengunjungi bunda sepulang sekolah. Jangankan tahu arti filosofis dari bunga-bunga tersebut, tahu nama bunganya saja tidak. Adsa asal saja memilih bunga-bunga yang dianggapnya cantik dan unik. Bahkan mungkin kalau ia ditawari bunga bangkai, ia akan senang sekali dan langsung memborongnya.

Setelah ia selesai menghabiskan waktu mengobrol dengan tembok kamar bunda, ia keluar kamar dengan menggenggam setangkai bunga untuk dibawanya pulang. Masih dengan senyum yang sama, ia tak segan-segan menyapa semua orang yang dilewatinya. Pak satpam, perawat, bahkan tukang cleaning service sudah mulai akrab dengan lengkingan suara Adsa yang tak tahu tempat.

Namun setelah itu, langkah Adsa terhenti. Matanya menatap lurus seorang anak yang berada tidak jauh darinya. Ia seorang anak perempuan dengan rambut panjang sebahu yang berusaha menuruni tangga dengan bantuan tongkat penyangga.

RintikWhere stories live. Discover now