18. Inikah yang Namanya?

53 2 2
                                    

Pelajaran matematika pagi ini disambut seluruh siswa dengan mata sayup menahan rasa kantuk. Tak terkecuali Adriell. Ia sengaja membuka buku pelajarannya yang setebal tembok rumah itu, lantas menaruhnya berdiri menutupi wajah polosnya yang tertidur pulas. Semua angka yang diucapkan Bu Radi di depan kelas terasa seperti dongeng pengantar tidur. Teman sebangkunya, Evan, si ketua kelas, selalu siap 24 jam membangunkannya jika Bu Radi mendekat dalam radius setengah meter.

"Agen E pada Agen A. Target mendekat. Target mendekat," seru Evan seakan mereka adalah agen rahasia.

Namun entah apa yang menyumpal telinga Adriell, ia tak kunjung membuka mata meski Bu Radi telah berada persis di depannya. Karena merasakan hawa dan sinyal tidak enak, Adriell bergumam setengah sadar sambil menyikut lengan Evan.

"Van, amankan?"

Aman pala lu peyang.

Satu kelas yang awalnya tegang mendadak tertawa riuh.

"Eh, iya, aman-aman. Aman banget...." Evan hanya bisa meringis mendapati Bu Radi menatap tajam ke arahnya.

"El! Bangun woi. Target di depan mata. Mati lo," bisiknya.

"Ganggu lu. Gue lagi bobo sama cewek cantik...." Mata Adriell masih terpejam di atas meja.

"Siapa cewek cantiknya, Nak Adriell?"

Pelan, tapi menusuk. Suara tegas Bu Radi seperti sengatan ubur-ubur di tengah samudra Hindia, dan Adriell sedang tenggelam di dalamnya. Mata Adriell seketika terbuka lebar bagai kelilipan bubuk kafein berlebihan.

"Eh, Bu Radi? Apa kabar, Bu? Baik?" tanyanya spontan.

Tawa sekelas membuncah.

"Katanya lagi tidur sama cewek cantik? Mana ceweknya?" Tatapan Bu Radi membuat sekelas bungkam kembali.

"Anu.. Ibu ceweknya... Hari ini Ibu cantik banget... Lebih cantik dari Luna Maya sama Lucinta Luna dijadikan satu...."

Semua menahan tawa mendengar pernyataan Adriell yang nyeleneh.

"Diam semuanya!" Bu Radi mengeluarkan selembar kertas, lalu meletakkannya di atas meja Adriell. "Tidur sekali lagi saat jam pelajaran Saya, nggak akan ada 'nilai kasih sayang' di rapor kamu!"

Satu kelas menertawakannya lagi. Pasalnya memang Adriell tidak pernah mendapat nilai di atas KKM. Namun nilai rapornya tak pernah di bawah delapan puluh. Suatu keajaiban baginya.

Adriell menatap kosong kertas yang Bu Radi beri. Evan mencuri kertas itu lantas tertawa.

"Ini nilai ulangan kenapa sama kayak ukuran sepatu anak gue?" Coretan berwarna merah dengan angka dua puluh sengaja di tulis besar-besar di kertas ulangan matematikanya.

"Rese lo! Emangnya lo punya anak?"

"Wah. Lo tahu toples Khong Guan yang ada gambar ibu dan anak-anaknya lagi makan biskuit? Nah, gue itu Bapaknya..."

"Bodo amat...."

Bel istirahat yang ditunggu-tunggu akhinya menyela penjelasan Bu Radi tentang Matriks. Evan berteriak girang meninju langit-langit. Semua siswa keluar kelas dengan kantin sebagai tujuannya. Tidak kali ini, Adriell tidak menuju kantin.

Didorongnya pintu perlahan. Ruang BK sangat sepi dan dingin, membuat Adriell ingin melanjutkan tidurnya di sana. Baru saja ia melangkah, Bu Utami selaku guru BK yang ingin menemuinya sudah memanggil Adriell untuk masuk.

"Adriell, maaf mengganggu waktu istirahatmu."

Ia hanya tersenyum ramah, lalu, "Ada apa, Bu?"

"Ini soal nilai-nilai ujian kamu. Kamu harus menaikkan nilai kamu jika ingin mencapai tujuan Ayahmu...."

Lalu semuanya tampak buram. Suara Bu Utami samar-samar di telinganya. Benaknya berkecamuk tak tahu arah. Rasanya ia tak siap mendengar semuanya. Untuk saat ini.

***

Bel masuk berbunyi tepat saat Adriell keluar dari ruang BK. Ia menarik napas dan menghembuskannya keras-keras. Dirinya kemudian mengecek ponsel yang sedari tadi bergetar. Dua puluh pesan masuk dari nomor tak dikenal. Namun sebuah panggilan tiba-tiba muncul.

"Halo?" tanya Adriell penasaran.

Dari ujung telepon, terdengar suara napas tersengal. "El... El... Ini Adsa," bisiknya.

"Sa? Sa? Lo kenapa?"

"Adriell—tolong cepat ke lapangan belakang."

"Kenapa, Sa? Lo nggak apa-apa, kan? Halo? Adsa?"

Sial!

Sambungan telepon itu dimatikan. Adriell tak sempat berpikir apa-apa. Pasti anak kecil itu sedang dalam masalah. Kenapa Adsa tidak bisa sehari saja duduk diam dan tidak mendapat masalah apapun? ARGH! Adriell sangat kesal untuk merasa khawatir.

Ia mulai berlari dari lantai dua menuju lapangan belakang sekolahnya. Perasaannya tidak tidak karuan. Seperti ada sesuatu yang sedang melukai gadis kecil itu dan ia akan terlambat menyelamatkannya. Rasa khawatir telah menjalar ke seluruh tubuh. Adriell terus berlari tanpa memelankan laju sedikitpun. Dalam bayang, Adriell melihat Adsa dipermainkan dan dihabisi oleh kawanan Binar. Gadis itu tak akan selamat tanpanya. Adsa, Adsa, Adsa, tunggu gue, Sa, ulang Adriell dalam hati.

Orang-orang sudah ramai di lapangan. Berkerumun berebut melihat sesuatu. Adriell benar-benar kecewa. Dirinya pasti sudah terlambat. Ingin ia berteriak sekencang mungkin saat itu juga. Adriell menerobos kerumunan orang gila-gilaan. Ia mencari-cari wajah itu.

"Adsa!" teriaknya.

Belum sampai melihat Adsa di tengah kerumunan, orang-orang telah berteriak girang. Menyoraki. Menyebut satu kata itu berulang-ulang.

"Terima! Terima! Terima!"

Langkahnya memelan. Napasnya tak beraturan.

Ia akhirnya melihat Adsa, seseorang yang harus ia selamatkan. Tangannya digenggam oleh seorang lelaki, yang bukan dia. Wajahnya mencari-cari seseorang, lalu tersenyum mendapati Adriell—yang ia tunggu sedari tadi telah datang.

"Adsa... Lo nggak apa-apa?" bisiknya ditelan angin.

Namun,

"Iya. Gue terima lo, Biru."

Ia baru sadar. Dirinya sendirilah—yang harus diselamatkan.

Layaknya sebuah kolase, bagian-bagian dalam dirinya berserakan melihat senyum itu, yang untuk pertama kalinya, terasa... menyakitkan. Adriell mengeratkan kepalan tangannya. Tersenyum dan tertawa getir. Semua orang riuh bersorak gembira. Sang pemeran utama telah mendapatkan pangerannya.

Bodoh, pikirnya.

Dirinya memang terlambat. Rasa ini ada di waktu yang tidak tepat.

Bodoh, ulangnya.

Untuk apa jatuh cinta selain untuk terluka?


**************

gimana part ini?

jgn lupa vote comment yaaah!>,<

RintikWhere stories live. Discover now