15. Hukuman

58 3 2
                                    

           

Saviera membekap mulutnya.

            "ADSA!"

            "Gimana, Bu?"

            "Keluar kamu sekarang dari pelajaran saya!"

            "Alhamdulillah...." Adsa lantas berdiri dari kursi, tersenyum pada guru kimianya yang sedang melotot indah kepadanya.

            "Siapa yang nyuruh kamu jalan?" Adsa berhenti bergerak. "Ngesot kamu sampai lapangan depan!"

            "Naudzubillah..." ucap Adsa polos sambil mengusap-usap dada. Satu kelas tertawa melihat tingkah Adsa yang santainya luar biasa. Mereka bertanya-tanya, mengapa ada guru yang masih suka menghukum anak ini meski tahu tidak akan mempan dibuatnya?

            Adsa benar-benar menuruti perkataan ibu guru tanpa banyak protes. Ia mengesot di lantai dengan penuh semangat tanpa mempedulikan rok sekolahnya yang sudah kucel menjadi semakin buluk berkat mencium lantai.

            "Lo itu ya, Sa..." ucap Saviera. "kebangetan!" ia merangkul Dimas di sebelahnya yang berwajah murung. "Cari masalah mulu kerjaan lo."

            "Gue juga heran," jawabnya, "sama diri gue sendiri." Saviera tertawa. Disaat-saat Adsa dipermalukan seperti ini, ia masih saja bisa memperbaiki suasana.

            "Lari keliling lapangan selama satu jam pelajaran saya!" perintahnya bak majikan kepada babu favoritnya.

            Tanpa ancang-ancang, Adsa melesat keluar kelas menuju lapangan depan dengan berlari. Entah apa yang merasuki anak ini untuk terus semangat dalam keadaan apapun.

            Baru tiga kali putaran, Adsa sudah mulai kelelahan. Keringatnya menetes-netes. Napasnya tersengal. Seragam sekolahnya basah. Langkahnya memelan. Lamat-lamat ia berhenti.

            "Sa, minum dulu." Seseorang di dekatnya menyerahkan sebotol minuman isotonik; Biru. "Kok lari sendirian aja? Guru olahraga sama temen-temen kamu mana?"

            "Saya memang nggak lagi pelajaran olahraga. Saya cuma lagi dihukum biasa."

            "Dihukum? Kamu ngapain kok bisa sampai dihukum?" tanya Biru penasaran.

            "Jadi ceritanya, teman saya, Dimas, tadi hampir nangis karena dibilang bodoh sama guru. Saya nggak terima aja. Saya kasih serbuk hitam dari penghapus papan tulis sama lem kayu di kursi gurunya. Jadi ya... bisa ditebak endingnya gimana, haha." Ia meminum minuman pemberian Biru kehausan. "Nggak akan saya biarkan ada orang yang ngelukain hati teman saya. Saya aja susah-susah bikin mereka ketawa, enak aja bikin mereka sedih dalam sekejap."

            Biru bertepuk tangan. "Kamu cewek pemberani yang pernah saya tahu. Tapi nggak gini juga, Sa. Kan bisa pakai cara lain. Beliau tetap guru kamu loh, Sa. Ini, nih, yang nggak saya suka dari kamu."

            Adsa sejenak merasa bangga. "Tapi, kan, saya memang nggak pernah meminta siapapun untuk menyukai saya."

            "Tapi kalau hati saya terlanjur suka gimana?"

            Adsa yang sedang menyeruput minuman lantas tersedak atas kata-kata Biru. Tangan Biru spontan mengacak-acak rambut Adsa geli.

            "Bercanda, Sa. Minumnya pelan-pelan, dong."

            Ooh... Cuma bercanda... batin Adsa.

            Biru mengambil botol di tangannya. Lalu menyodorkannya langsung ke bibir Adsa. Wajah Adsa spontan menjauh. "Saya bisa minum sendiri kok, Kak."

RintikWhere stories live. Discover now