WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Catching The Butterfly
*THE VERVE*
"Di sini saja," kata Lantang. "Aku harus buru-buru."
"Buru-buru? Mengapa?"
"Aku mau ... em. Belajar."
"Oh ... belajar." Ben menyeletuk kecewa. "Kamu sudah lulus SMA, kan?"
"Aku sedang menyiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi tahun ajaran depan."
"Ah ... ya ... ya ... mau ngambil jurusan apa nanti?"
"Teknik arsitek, seperi ayahku," jawabnya cepat, ingin segera menyudahi percakapan dan berharap ditinggal ke dalam usai menjawab. Bayangan canggung semalam masih menggelayuti benaknya. Bahkan, cara Ben menatapnya terasa tak sama lagi dengan sebelumnya.
Ia tahu itu cuma perasaannya, tapi kekhawatiran Tyaga tadi siang tak mampu ia tepis begitu saja.
"Piring ini perlu sedikit dicuci," kata Ben. "Ayo, masuklah. Aku punya beberapa buku yang mungkin bisa kamu baca saat diterima nanti."
Lantang mengernyit.
"Aku tahu sedikit tentang seni desain, dulu mantan istriku juga mahasiswa arsitektur," imbuhnya santai, yang seketika mengejutkan Lantang. Namun, seolah tak peduli, Ben meneruskan kalimatnya. "Sudah lama memang tak kusentuh, tapi aku masih menyimpan buku-buku lama mengenainya. Oh kenapa? Ayahmu nggak memberi tahu?"
Ayahmu nggak memberitahu? Merasa aneh, Lantang menggeleng. Apa saja yang mereka bagi dalam waktu sesingkat tempo hari? Hanya sambil menanti ibunya menyiapkan makan malam, pikir Lantang.
"Sudahlah, ayo, masuk dulu saja," bujuk Ben. Kemudian, dengan suara lebih rendah ia mengimbuhi. "I've been waiting for you. Rangga bilang ... ada sesuatu yang mau kamu katakan, kan?"
"Apa yang mau kukatakan?" Lantang menggumam bingung. Tapi, sebelum Ben menjelaskan, ia sudah lebih dulu paham. "Soal permintaan maafku? Bukannya sudah?"
"Memang sudah, tapi ada baiknya kamu masuk, supaya dia pikir kita sudah menyelesaikan segalanya dengan baik."
"Tapi bukannya memang sudah?"
Raut ramah Ben perlahan memudar. "Kalau kamu terus bersikap begini, aku khawatir hubungan kita akan kembali ke awal. Ayahmu mungkin sudah tahu siapa yang memukulku, tapi tentunya kamu belum menceritakan apa penyebab terjadinya pemukulan itu, atau bahkan soal ... kamu tahu, kan?"
Lantang masih berusaha menahan lengannya yang disentuh Ben, "Dari mana kamu tahu aku belum cerita semuanya ke bapak?"
Bibir Ben mengatup rapat, ia menarik embuskan napas tanpa suara, seraya kemudian merogoh saku celana dengan tangan yang tak memegangi piring. Setelah mengutak-atik sebentar, ia menunjukkan pada Lantang layar ponsel yang menerangkan adanya percakapan antara si pemilik kontak dengan kontak lain yang disimpan dengan nama Rangga beberapa menit lalu. Lantang mengetatkan rahang.
Sedekat apa ayahnya dengan pria ini sebenarnya? Baru bertemu beberapa hari, mengapa layaknya sudah cukup akrab sampai menyusun rencana di belakangnya? Lantang yakin ayahnya tak punya maksud buruk, tapi apa perlu beliau berbuat sejauh itu? Ia merasa dijebak. Dengan berat hati, Lantang akhirnya menyanggupi ajakan persuasif Ben yang menyentuh lengannya samar, tanpa paksaan sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANG
Ficción General"Love has to win, Lantang. If it doesn't, it's not love anymore." -Luksa Benyamin- A coming of age boys love story. Not a fan fiction. Enjoy my sweat and heartbeat Kincirmainan