6. I Never Noticed How Lovely were The Aliens

4.9K 754 302
                                    

WARNING

BOYS LOVE

The work focused on boys/boys relationships

===========

Playlist:

Loving The Aliens

*David Bowie*

***

"Sudah cukup, Lantang."

Gerakan menyemprot pemuda kurus dengan tubuh basah itu berhenti gara-gara imbauan Ben. Dahinya berkerut merasa pekerjaannya belum selesai, tapi separuh hatinya ingin mengikuti saran itu. Ia basah kuyup, kedinginan, dan—dugaan Ben benar—tak tahu cara efektif mencuci mobil. Ragu-ragu, siapa tahu itu pertanyaan jebakan.

"Matikan saja kerannya," kata Ben, berdiri di teras.

Lantang belum bisa melupakan kata-kata Ben sebelumnya, juga bagaimana terluka perasaannya saat air keran menyembur kencang wajah dan tubuhnya. Bukan hanya itu, ia merasa dipermalukan meski tak seorang pun melihat.

Luksa Benyamin bukan pria kejam yang suka mempermainkan perasaan bocah, ia hanya ingin memberinya sedikit pelajaran. Sesungguhnya, ia menganggap wajar kenakalan Lantang dan Tyaga sebelum ia tahu salah satu dari mereka adalah putra kebanggaan tetangga barunya yang baik hati. Ia tak keberatan mengenalnya lebih dekat, namun tak ingin para remaja tersebut menganggapnya remeh dan mengabaikan perbuatan buruk mereka.

"Ayolah, masuk," bujuknya. "Hari sudah mulai siang, tetangga lain bisa mengira aku memaksamu melakukannya."

"Tapi kamu memang memaksaku melakukannya." merengut, membuang selang begitu saja ke tanah, baru kemudian menghampiri keran dan mematikannya. "Aku mau pulang."

"Tidak boleh sebelum kita bicara."

"Aku basah kuyup."

Penghuni baru itu diam menimang. "Kembali dalam lima menit, aku sudah bikin dua piring nasi goreng buat upahmu membasahi mobil."

Lantang menyembunyikan bibirnya yang tersenyum gara-gara sarkasme pria itu. Memang benar, mobil itu tidak tampak berbeda selain basah, malah bekas lumpur kini menggenang di mana-mana. "By the way ... kupikir kamu bilang toaster," katanya kikuk.

Ben yang sudah bersiap akan kembali masuk rumah, berbalik lagi. Ia menggerakkan bahu, "Aku tidak punya roti."

"Harusnya kamu bilang—"

"Lima menit, Lantang," potong Ben dingin.

Lantang hanya ingin bilang dia punya roti di rumah demi mencairkan ketegangan, tapi Ben malah begitu keji memotong ucapannya. Kesal, ia tak mampu menahan diri untuk tidak menyipak genangan air di kakinya.

"Tunggu apa lagi?"

"Sepuluh." Tahu-tahu Lantang menyeletuk, berusaha menawar.

Lawan bicaranya menggeleng samar. "Butuh sepuluh menit buat ganti baju? Biasa dipilihkan baju oleh ibu, atau malah dibantu ganti pakaian?"

Meski sulit, putra tunggal Bestari itu menahan diri untuk tidak membalas ejekan Ben dan memutuskan berlarian kecil menuju rumahnya. Secepat kilat, ia menyahut pel dari dapur teringat lantai kamarnya basah oleh cairan bir. Siapa bilang ia butuh sepuluh menit untuk ganti baju? Ia hanya butuh waktu lebih untuk membersihkan kamar. Masalahnya kalau dia jujur, ia punya firasat buruk mengenai apa yang akan dikatakan Luksa Benyamin tentang kecerobohannya.

LANTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang