WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Oh You Pretty Things
*David Bowie*
Lewat mulut, Lantang menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia mengulangnya beberapa kali sepanjang beberapa langkah perjalanannya menyeberang dari pintu rumahnya ke rumah Ben. Semua daftar pertanyaan sudah tersusun di kepalanya sejak ia mandi, diulangnya saat mengeringkan rambut dengan hairdryer Bestari, bahkan sempat berniat mencatat poin-poin tersebut di teIapak tangannya, tapi tak jadi. Lantang memang selalu parah dalam menghafal karena dia penggugup.
Tepat di depan pintu, ia merapikan sekali lagi rambutnya berdasarkan insting, memastikan lengan kemejanya tertekuk rapi, dan colar kaus dalamnya tak melintir. Setelah dirasa siap, ia berdeham melegakan tenggorokan, kemudian memencet bel satu kali. Merapikan jatuhnya bahan kemeja yang tak ia kaitkan butir kancingnya sebelum memencet kedua kali.
Tak ada sahutan dari dalam, tapi terdengar langkah kaki mendekati pintu.
Lantang menyiapkan senyum lebar sewaktu Ben menyambut kehadirannya. Pria itu juga sudah rapi dalam balutan busana rumahan, celana jeans dan kaus putih polos berhias tulisan in pop we trust kecil di dada kanannya.
"Mau pergi, ya?" Ben bertanya sambil menutup pintu kembali.
"Siangan," jawab Lantang. "Tyaga ngajak ketemuan."
"Oh ... ada apa?"
"Tadi pagi dia menelepon, suaranya paniiik sekali. Dia bilang orang tuanya bertengkar hebat subuh-subuh tadi. Papanya kan sudah lama nggak pulang, tahu-tahu datang dan mukulin ibunya. Gila. Kasihan Tyaga. Dia baru pulang habis nganter mamanya ke pengacara yang bakal nemenin visum. Niatnya mau langsung ke rumahku, tapi kubilang nanti aku saja yang ke sana"-mendadak, menyaksikan Ben terbengong mendengar penjelasan panjang lebarnya, Lantang terdiam menyadari dirinya sudah menyerocos dan membocorkan terlalu banyak informasi. Ia biasa begitu bila sedang gugup-"Eng ... nanti siang aku perginya."
Ben mengangguk, menyilakan Lantang masuk ke ruang makan yang jadi satu dengan dapur.
"Aku senang kamu mutusin ke sini dulu," tutur Ben jujur. "Bukannya aku nggak menaruh empati pada apa yang menimpa Tyaga ...."
"It's okay, lagi pula aku sudah janji," sahut Lantang pendek.
"Mau minum apa? Aku nggak mau dengar penolakan, hari masih pagi, kita masih punya waktu mengobrol cukup banyak sampai nanti siang."
"Apa saja, aku juga nggak berniat menolak sebenarnya."
Ben mengulas senyum, ia kemudian meracik teh dan menyajikannya bersama beberapa pilihan kue kering untuk camilan. Lantang menerima cangkir teh sambil mengucap terima kasih. Seraya membubuhkan gula dan krim, ia memikirkan bagaimana mengawali pembicaraan tanpa terdengar terlalu banyak ingin tahu. Berulang kali, ia mencuri pandang pada Ben yang asyik menyesap permukaan teh melatinya.
"Aku mau bilang kamu mirip Rangga, tapi itu sama sekali nggak masuk akal, kan?" tiba-tiba Ben membuka pembicaraan.
Lantang tak paham.
"Sejujurnya ... kamu justru lebih mirip denganku," timpal Ben, lalu sebelum Lantang bertanya, ia lebih dulu menghirup aroma teh dan tampak tak ingin diganggu. "Sekarang ini, Lantang ... pasti ada banyak sekali pertanyaan bermain di benakmu tentangku, kan? Iya, atau iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
LANTANG
Fiction générale"Love has to win, Lantang. If it doesn't, it's not love anymore." -Luksa Benyamin- A coming of age boys love story. Not a fan fiction. Enjoy my sweat and heartbeat Kincirmainan