1

13.7K 505 13
                                    

Derap langkah dari sepatu pantofel memenuhi indra pendengaran dari seorang gadis yang mendekap 2 buku tebal. Langkah kakinya menuju kelasnya yang berhadapan langsung dengan lapangan. Saat itu anggota paskibra sedang latihan di tengah lapangan dengan kondisi yang gerimis. Anggota paskibra itu terlihat serius, namun sesekali ada tawa dari mereka. Apalagi saat bagian gerakan formasi. Namun, itu semua tidak menarik di mata perempuan yang kelewat serius itu.

“Assalamu'alaikum, Ameera,” salam seorang pria bersepatu pantofel membuatnya menghentikan langkahnya. Pria itu berada di hadapannya yang sedang memamerkan senyum manisnya.

Ameera —nama perempuan itu—melangkah melewatinya tanpa melirik pria tampan itu.

“Jawab salam untuk sesama muslim itu hukumnya wajib lho.”

Pria itu membalikkan badannya dan tetap tersenyum. Ameera pun mau tidak mau berbalik badan.

“Waalaikumussalam,” jawabnya dengan wajah datar.

Setelah itu Ameera kembali melangkah menuju kelasnya. Sedangkan pria tampan itu tetap tersenyum menatap Ameera dari kejauhan. Kemudian ia kembali ke lapangan dan bergabung bersama teman-temannya yang lain.

“Woy! Bercanda mulu kalian ini! Mau gue hukum, hah?!” teriak Raditya. Ya, pria itu bernama Raditya atau biasa dipanggil Radit. Dia adalah seorang pria keturunan Jerman yang memiliki senyum menawan. Ia juga adalah komandan paskibra sekolahnya.

“Berisik lo badut ancol! Daripada lo kita latihan, lo malah mabur entah kemana,” jawab seorang pria tampan yang diberi nama Tedza oleh kedua orangtuanya.

“Damar! Tuh temen lo mulutnya minta dicabein. Masa babang ganteng kayak gue disebut badut ancol,” adu Radit pada Damar—teman seeskul—yang terlihat sibuk bermain ponsel. Ya, mereka sudah selesai latihan dan tengah duduk-duduk di bawah pohon rindang. Gerimispun sudah berhenti dan langit tersenyum kembali.

Damar tidak bergeming membuat Radit geram.

“Damar obatnya abis, Dit. Makanya jadi cuek lagi,” teriak seorang perempuan yang bernama Cilla yang juga anggota paskibra.

“Woy, Cilla! Gue di depan lo. Ngapain pake teriak?!” Radit memang aneh. Sudah tahu dia di hadapan Cilla, dia pun menjawab dengan teriak juga.

“Kalian berisik deh. Bisa nggak sih sehari itu mulutnya diem. Pusing kepala aku tuuu,” ujar seorang perempuan imut dengan sibuk meniup-niup kerudungnya yang lepek.

“Eh incess! Kuping lo aja yang kantongin. Sama itu tuh mulut lo jangan dimonyong-monyongin, nanti monyong beneran. Nanti babang Radit nggak naksir lagi sama lo,” ujar Cilla pada Nazwa atau Wawa.

“Idih amit-amit!” kata Wawa.

“Amit-amit? Eh Wawa, jangan salahin gue kalau lo naksir nanti,” ujar Radit.

“Gue yang naksir sama lo bang,” ujar Tedza sembari mengedipkan mata kepada Radit. Radit langsung bergidik jijik.

“Astaghfirullah, Tedza Teddy Bear! Gue masih normal. Noh, Damar aja yang nggak normal.”

“Wah, kampret!” celetuk Damar yang kini tidak terima dikatai tidak normal oleh Radit. Radit hanya cengengesan.

“Berisik banget sih! Udah istirahat. Kalian kagak mau ke kantin gitu?” tanya Syaqilla, cewek tercantik dan teralim di paskibra.

Saat Syaqilla berkata seperti itu, semuanya langsung beranjak.

“Damar traktir mie!!!” teriak Tedza pada Damar yang sudah terlebih dulu ke kantin.

Syaqilla dan Radit pun ke kantin juga karena teman-temannya sudah beranjak semua.

🌊🌊🌊

Ameera [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang