Kakinya mengayuh sepeda dengan cepat. Hembusan angin menjadi temannya saat ini. Ia tak mempedulikan kakinya yang sudah serasa ingin patah. Kata "Laut" membuatnya ingin sekali meledakkan emosinya. Ia sangat membenci laut. Laut yang membuat hidupnya berubah sejak 10 tahun yang lalu.
Sepedanya berhenti di depan sebuah pagar besi berwarna hitam yang tingginya sebatas kepalanya. Ia turun dari sepeda bermaksud untuk membuka pagar tersebut. Sembari mendorong sepedanya, ia masuk ke halaman sebuah rumah yang selalu hening dan sepi.
Ameera memarkirkan sepedanya di depan rumah. Ia masuk ke dalam rumah setelah mengucap salam. Salamnya dijawab oleh Mbok Nem—panggilan Ameera padanya. Mbok Nem adalah pengasuh Ameera sejak usia 6 tahun. Ameera bahkan sudah menganggapnya seperti ibunya sendiri, dan Mbok Nem sudah menganggap Ameera seperti anak kandungnya karena Mbok Nem pun tidak mempunyai anak dan suaminya pun sudah meninggal 10 tahun yang lalu.
Ameera duduk di ruang tamu sembari melepaskan sepatunya. Mbok Nem datang dari arah dapur. Biasanya Mbok Nem baru saja memasak untuk makan malam nanti. Berhubung sekolah Ameera memakai kurikulum 13 yang mengharuskan fullday school, jadinya Ameera pulang sore dan tidak makan siang di rumah.
Ameera salim kepada Mbok Nem. Seperti biasa senyum hangat Mbok Nem yang selalu menyambut Ameera sepulang sekolah. Mbok Nem duduk di samping Ameera dan mengusap kepala dan punggung Ameera.
“Ada Pak Raka Arshaka, Non,” ujar Mbok Nem.
“Ngapain orang itu ke sini, Mbok? Terus orangnya di mana?”
“Seperti biasa mau nengok Non Ameera. Dia ada di studio lukis, Non.”
Tanpa melepas seragamnya, Ameera langsung ke studio lukis miliknya yang terletak di belakang rumah di dekat gazebo. Rumah Ameera memang luas dan asri. Namun, senyaman-nyamannya rumah kalau tidak bersama keluarga, suasana akan terasa hambar dan biasa saja.
Ameera sudah berada di ambang pintu studio lukis melihat pria berahang tegas dengan seragam tentara dengan berbagai lencana yang memenuhi seragamnya. Pria itu sedang melihat-lihat lukisan yang terpajang di sana. Ameera memang memiliki hobi melukis sejak kecil. Dan, bisa memiliki studio lukis mini di rumahnya adalah impiannya.
Mata elang pria yang sudah berusia lebih dari 50 tahun itu menatap Ameera. Tak ada senyuman yang Ameera berikan pada pria itu. Sebenarnya Ameera dan pria yang ada di hadapannya memiliki banyak persamaan. Mungkin karena sejak usia 6 tahun, pria yang bernama Raka itu sering menengok Ameera dan bahkan menganggap Ameera seperti anaknya karena ia pun tidak punya anak perempuan.
Pak Raka keluar dari studio lukis dan duduk di gazebo. Ameera pun mengikuti langkah Pak Raka dan duduk di gazebo kecil yang kadang menjadi tempat Ameera melukis.
“Ngapain bapak ke sini?” tanya Ameera.
“Seperti biasa, nengok kamu. Lihat pertumbuhan kamu. Lihat sampai mana kemampuan melukis kamu.”
“Bapak masih bayarin sekolah saya?”
“Kenapa memangnya?”
“Saya sudah mendapat penghasilan sendiri dari menjual lukisan saya. Jadi, bapak gak perlu repot-repot membiayai sekolah saya lagi. Saya sudah banyak merepotkan bapak. Jadi, tolong stop peduli kepada saya.”
Pak Raka terdiam setelah mendengar perkataan gadis cantik di sampingnya. Wajah gadis itu mengingatkannya kepada perempuan yang begitu ia cintai dan menjadi cinta pertamanya.
“Saya tidak akan berhenti membiayai kamu sampai kamu kuliah. Anggap saja semua yang saya lakukan adalah untuk menembus kesalahan saya.”
“Kesalahan apa? Bukannya ayah saya yang salah karena telah merebut wanita yang bapak cintai?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ameera [SUDAH TERBIT]
SpiritualAmeera si gadis dingin yang hidupnya tidak ingin diusik. Namun, Raditya si komandan paskibra sekolah yang murah senyum selalu saja mendekati Ameera membuat gadis itu risih. "Saya tidak akan butuh kamu. Kamu bukan siapa-siapa saya. Jangan pernah camp...