Bab II :: Rumor Nyata

21 6 13
                                    

Adzan subuh masih jauh untuk berkumandang. Dan kami, harus terjaga. Jam memang masih menunjukkan pukul dua dini hari, tapi kami, harus segera berbegas, mencari kamar mandi jika ingin siap sekolah lebih dulu.

Memang beginilah resiko jadi anak pesantren. Tidur pukul sebelas malam, dan harus terjaga pukul dua pagi. Ingin protes tapi tak bisa, ini aturan. Kurasa semua pondok pesantren seperti itu.

Aku lagi-lagi harus mengantre. Tak pernah mendapat kamar mandi kosong, entah pukul berapa kakak kelasku terjaga. Jam dua saja kami harus mengantre, apalagi jika bangun telat. Bisa-bisa adzan subuh, baru selesai mandi.

Tak butuh waktu lama, aku telah selesai mandi. Berlari ke kamar, lantas segera mengambil mukenah. Sholat tahajjud tak akan pernah terlupa.

Harapan yang kemarin sempat meninggi, kini musnah. Lagi-lagi aku kehilangan semangat. Jangan tanya kenapa. Malam tadi pun tidur serasa tak nyenyak, bayangan berkumpul dengan keluarga selalu menghantui.

Aku menghela napas, sempat menanamkan semangat namun tak jadi lagi. Bahkan sampai sholat subuh berjamaah selesai, senyum belum terbit sama sekali di wajahku. Hal yang membuat banyak teman dekatku heran. Dan aku hanya mengendikkan bahu malas.

Pukul setengah enam, kami harus segera siap, mencari makan, mandi lagi jika sempat, kemudian bersekolah. Mengingat sekolah, lagi-lagi membuatku murung.

Diana di sampingku, mengerutkan dahi. Aku sempat menoleh padanya tadi, sebelum kualihkan pandangan ke depan.

"Mbak Lai kenapa? Dari kemarin murung terus," katanya.

Aku tersenyum tipis, senyum pertama hari ini. "Lagi kangen keluarga."

"Kalau gitu sama dong. Tapi Diana bosen sih di rumah. Makanya seneng-seneng aja di sini. Banyak temen. Di rumah sepi, cuma Diana sama eyang."

"Setahun pulang cuma dua kali, sekalinya mau pulang masih harus tertahan. Siapa yang enggak kesel?"

Diana tertawa. "Diana enggak kesel tuh. Malah seneng-seneng aja."

Kita beda Na.

Tak terasa, warung makan ada di depan mata. Besok puasa, dan pasti warung favorit ini bakal tutup. Ah, lagi-lagi aku menghela napas. Sepertinya ramadhan ini ramadhan terburukku. Bukannya menyambut dengan suka cita, aku malah menggerutu, kesal selalu.

***

Hari ini sekolah umum dibebaskan. Ustad maupun ustadzah tak ada memasuki kelas. Kami, selaku murid hanya bisa bersorak ramai. Benar-benar bahagia jika tak ada guru seperti ini. Pasalnya, jam kosong adalah hal yang langka di sini. Bisa jadi jam kosong hanya terjadi satu tahun sekali.

Aku tersenyum. Lega rasanya, bisa tidur di kelas tanpa diganggu siapapun. Perlahan, kepalaku turun. Tidur duduk dengan posisi lengan sebagai bantal, mataku mulai menutup. Beberapa saat hingga akhirnya suara Linda lagi-lagi mengacaukan segalanya.

Ia dengan tidak elitnya membangunkanku layaknya sedang terjadi kebakaran. Berseru heboh lantaran sebuah rumor yang menyebutkan akan ada ustad ganteng di sini. Aku hanya menguap sambil mengangguk, lalu mengambil ancang-ancang tidur kembali, namun gagal.

"Ih, Lai dengerin dulu. Ustadnya masih muda lho. Yakin enggak mau lihat?"

"Males ah Lin. Ngantuk." Aku menguap entah kesekian kalinya.

"Eh, jangan tidur dulu. Ustadnya lagi perkenalan di kelas sebelah."

"Ya Allah. Sehari saja enggak ganggu aku bisa enggak Lin? Aku ngantuk. Pengen tidur," seruku sedikit kesal. Menatapnya tajam Linda lalu kembali mencoba tidur.

Beginilah jika ada rumor tentang ustad baru yang masih muda. Pasti heboh. Tak hanya sekali aku mendengarnya. Berkali-kali bahkan, tapi tak pernah menjadi nyata. Rumor itu memang hanya rumor, bukan kenyataan. Pasalnya pondok kami hanya menerima segelintir ustad, itupun yang sudah beristri. Pantas jika rumor tersebut tak pernah menjadi nyata.

Lagi-lagi tidurku terganggu, bahkan belum sampai dua menit aku memejamkan mata. Bukan lagi karena Linda dengan seruan hebohnya. Melainkan suara khas lelaki. Perlahan kudongakkan kepala.

Rumor itu, nyata. Bukan lagi hanya sebuah rumor.

Tbc...

14-06-2018

The Story Of Ramadhan #TheOrion's_projectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang