Bab III :: Ustad Ibam

21 7 2
                                    

Rumor itu, nyata. Bukan lagi hanya sebuah rumor. Kini di depanku, berdiri dengan gagahnya seorang lelaki muda. Kutebak umurnya tak lebih dari dua puluh tahun. Dia berbicara dengan wajah menunduk. Astagfirullah, aku baru sadar jika telah memandanginya. Lantas segera kutundukkan pandangan.

Ustad muda itu memperkenalkan namanya. Jika tak salah, kudengar namanya Ibrahim. Nama yang pantas untuknya. Aku tersenyum tanpa sadar. Linda menyikut lengan atasku, lantas kutolehkan pandangan, menatapnya dengan tampang bertanya.

"Kamu lihat sendiri kan, dia nyata. Bukan rumor lagi."

"Ya." Kujawab singkat pernyataannya.

"Namanya bagus ya, sebagus orangnya."

"Tahu apa kamu tentang dia?" tanyaku dengan pandangan menelisik.

"Ciah, Laila. Mulai tertarik nih ya."

Lantas aku menggeleng keras. "Enggak. Kata siapa?"

"Haha. Kata matamu. Ibrahim, cocok dipanggil apa ya?"

"Ibam...," jawabku tanpa sadar.

Kulihat Linda tersenyum lebar. Kami berdua mulai kehilangan fokus mendengarkan. Malah asik mencari nama panggilan yang tepat untuk ustad muda itu.

"Ustad Ibam? Enggak cocok. Ustad Bram baru cocok." Linda berseru nyaring. Membuat seisi kelas menaruh perhatian pada kami berdua. Tak terkecuali ustadzah Nanik. Beliau tersenyum maklum menatap kami.

Aku menghela napas, beruntung ustad muda itu tidak mendengar apa yang Linda ucapkan, karena memang dia telah keluar sejak kami membicarakannya. Jika ia mendengarnya, entah akan di mana letak wajahku sekarang, malu pasti.

.

Sekolah umum maupun madrasah diliburkan, entah karena apa. Membuat kami, para santri bersorak ramai sembari melangkah menuju kamar masing-masing. Tak terkecuali aku, senyum sedari tadi nampak di bibir. Tak lagi terlihat murung. Kini aku mulai terbiasa dengan pengumuman malam itu.

"Mbak Lai, mau ikut belanja enggak?" Diana datang tiba-tiba dengan suara cemprengnya yang khas.

Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. "Enggak tahu Din. Lihat uang dulu."

"Ehm, ya sudah. Nanti Diana tunggu di mini market ya. Dah..." Diana melambaikan tangan sembari berlari kecil. Aku balas melambai sambil kembali melanjutkan langkah.

Tiba-tiba terbesit keinginan, aku ingin belanja juga. Dengan semangat membara, aku berlari menuju kamar. Susah memang, menaiki tangga sambil berlari, tapi tak apa. Mumpung semangat dalam hati masih ada.

Kuambil dompet di loker, lalu kembali keluar kamar. Mungkin tingkahku yang terburu-buru membuat para penghuni kamar D3 heran. Mereka memang terbiasa dengan tingkahku yang serba terburu-buru jika sedang ingin sesuatu, tapi aku tahu mereka tetap merasa heran.

Pesantren kami memang memiliki mini market sendiri, khusus santri. Katanya, agar para santri tidak suka keluar pesantren. Semua lengkap di sini, keperluan perempuan, baju hingga pakaian dalam, selain itu harganya terjangkau, sangat pas di kantong santriwati seperti kami. Haha, aku sudah seperti tukang promosi saja.

Aku sampai dengan wajah berkeringat serta napas ngos-ngosan. Berlari dari kamar sampai sini memang membutuhkan tenaga ekstra. Sepertinya aku akan membeli beberapa minuman sebagai pereda haus nantinya.

Diana melambaikan tangan ketika melihatku, aku menghampirinya. Menanyakan ia akan membeli apa. Dengan wajah sumringah ia berkata 'rahasia'.

Sebagai perempuan, naluri berbelanja memang sangatlah besar. Melihat barang atau makanan yang ada di sini, rasanya ingin membeli semua. Aku memang jarang berbelanja, selain malas karena jauh dari asrama, juga karena uang yang lebih sering kutabung.

Tiba-tiba Diana berbisik. Ia berkata ingin membeli sesuatu untuk temannya. Aku pun penasaran apa yang akan ia beli, mungkin saja aku bisa menirunya. Membelikan sesuatu untuk sahabat tercintaku di sana.

Diana mengajakku ke minimarket paling pojok. Tempat aksesoris perempuan berada. Di sana banyak terdapat bros, jarum berbentuk lucu, serta aksesoris perempuan lainnya. Tangan Diana terulur di tempat gantungan kunci. Aku hanya diam memperhatikan.

Gantungan kunci yang bagus. Tak terasa tanganku ikut terulur mengambilnya. Sebuah gantungan biasa namun bagus. Bukan bentuknya tapi tulisannya.

Aku tersenyum cerah. Hadiah yang tepat untuk sahabatku di sana. Ah, Diana. Terima kasih.

Tbc...

14-06-2018

The Story Of Ramadhan #TheOrion's_projectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang