Takdir memang semisterius itu, tidak ada yang pernah menyangka kita akan dipertemukan seunik ini
~o~
17 Juni 2004
Seorang gadis kecil masuk ke sebuah ruangan yang bercat hijau muda. Banyak anak-anak seusianya yang bersenda gurau dan ada pula yang sepertinya sedang dipetuahi panjang lebar oleh orang tuanya.
Hari ini adalah hari pertama Gify merasakan dunia sekolah sesungguhnya setelah lulus dari taman kanak-kanak yang lebih banyak bermain, mata gadis kecil itu melirik pada baliho besar di dalam ruangan bertuliskan 'Selamat Datang di SD Swasta Mahardika'.
"Selamat pagi Ibu, selamat pagi Nak, hai saya Bunda Maida nama kamu siapa?"
Pandangan gadis itu akhirnya berfokus pada wanita muda yang kini menatap teduh padanya, senyumnya ramah dan bersuara lembut.
"Gifyta Dewi," ujar gadis itu dengan sedikit malu-malu.
"Jangan malu-malu sayang, Bunda bisa panggil kamu apa?"
"Gify," ujarnya singkat dan menatap polos wanita dihadapannya mengundang senyum gemas dari wanita yang akan menjadi gurunya di sekolah ini.
"Nah kan Gify sudah kenalan sama ibu guru, sekarang Mama pulang ya." Gify mendongak pada wanita bersuara lembut yang sedari tadi menggenggam tangannya, Mamanya tersayang. Gify hanya mengangguk sebagai jawaban. Mamanya tampak sedikit bercakap dengan Bunda Maida sepertinya sedang menitip dirinya pada Bunda Maida setelahnya Mamanya pun pergi. Tidak seperti anak baru pada umumnya Gify lebih memilih menghadapi hari pertamanya di sekolah seorang diri, tanpa ditemani orang tua.
Bunda Maida pun membimbingnya untuk duduk di kursi yang diatur melingkari sebuah meja bundar yang dipenuhi buku-buku bergambar dan mainan. Tangannya terulur mengambil sebuah buku bergambar, sejak berumur dua tahun gadis kecil itu memang sudah diperkenalkan orang tuanya dengan buku. Sehingga ia lebih terbiasa dengan buku dibanding mainan.
Suara ceria Bunda Maida memecah keributan anak-anak yang tadinya sibuk bermain. Satu persatu bocah-bocah itu pun diminta memperkenalkan diri. Sampai akhirnya giliran seorang anak laki-laki berkaca mata yang tampak tertunduk. Ia tampak ketakutan, bahkan ia tak menjawab satu patah kata pun pertanyaan kecil Bunda Maida, seperti "Apakah kamu baik-baik saja?"
Tapi Gify memang bukan seorang yang terlalu peduli urusan orang lain, ia masih terlalu asik dengan buku di genggamannya.
Namun tiba-tiba tangisan anak laki-laki itu mengejutkan seisi ruangan, sampai akhirnya teriakan salah seorang anak di sampingnya membuat Gify mendongak.
"Bunda dia ngompol."
Seisi kelas memerhatikannya dengan seksama, sebagian tertawa, sedang Bunda Maida sibuk menenangkan anak itu. Gify dapat melihat pancaran sedih di kedua bola mata dibalik kacamata anak laki-laki itu. Saat mata anak lelaki itu bersiborok dengan matanya, selama beberapa saat mereka terpaku, saat itu Gify kecil tahu anak lelaki itu benar-benar sedih, ia tak menyukai itu.
***
Setelah melakukan kegiatan luar kelas seperti senam dan bermain mereka pun masuk kembali ke dalam kelas. Anak-anak berlari berhamburan mencari tempat duduk paling strategis. Mencari teman yang paling mereka senangi untuk dijadikan teman sebangku. Sedang Gify yang baru masuk hanya menatap dari depan pintu. Ia lebih memilih menunggu tempat yang tersisa untuknya dari pada ikut rebutan kursi.
"Bunda, Kia ga mau duduk sama anak ini, dia kan yang tadi ngompol, pasti bau deh." Setelah mengucapkan hal yang rasanya kurang sopan itu seisi kelas kembali menertawakan anak lelaki berkacamata itu. Sedang anak itu hanya tertunduk tak berani menoleh kemana pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
May Be Later
General FictionGify selalu berusaha mengerti Rion, walau pun Rion selalu sibuk dan jarang ada waktu untuknya. Bagi Gify mendukung Rion adalah hal utama. Rion sangat mencitai Gify, Gify adalah orang pertama yang mengulurkan tangan saat dia jatuh. Bagi Rion Gify ada...