14: Sunset Ride

368 69 6
                                    

RISA melambai dengan semangat. "Kak Rama!" Cowok itu menoleh dan melemparkan senyum simpulnya yang tenang. "Kok masih di sini?"

"Habis rapat OSIS. Kamu?" Rama memperhatikan Risa membawa cukup banyak barang di dalam tote bag-nya.

"Baru aja nyelesein mading buat dipasang besok."

Keheningan melanda di antara mereka. Risa tak melanjutkan langkah pulangnya. Rama pun hanya memandangnya tanpa berkutik.

"A-aku pulang dulu ya," Risa akhirnya buka suara. Wajahnya memerah karena menyadari kecanggungan di antara mereka. Mendadak kok pakai aku-kamu ya...?

"Eh aku anterin, mau? Kosong nih jok belakang, Hana kan sudah balik duluan. Boleh dong aku nganterin adik yang lain he he he..."

Risa tertawa canggung. Dia bimbang antara menerima tawaran yang terdengar bagus tersebut atau tidak. Dia belum pernah naik motor sebelumnya. Namun belum sempat dia menjawab, Rama sudah berlari ke parkiran motor. Tiga menit kemudian, dia kembali lengkap dengan mengendarai Vario dan memakai helm berwarna kuning. "Tote bag-nya taruh sini aja ada cantelan di depan. Nah kamu pakai ini." Cowok itu menyodorkan helm berwarna pink yang biasa dipakai adiknya. 

Tangan Risa gemetar saat mengambil helm tersebut. Dia menaruhnya di kepala lalu memandangi motor tersebut. Pikirannya cepat teralih ke bagaimana caranya naik dan duduk yang tak membuat roknya tersibak. Apakah ini akan aman? Karena dia takut sekali kalau salah posisi, dia bisa jatuh. Di mana pegangannya?

"Sini...," tiba-tiba Rama menarik tangannya mendekat. "Pakai helm tuh yang rekat. Tali yang ini... dimasukkin ke sini... lihat kan ada slotnya. Nah cetek! Kekencangan nggak?" Risa tercekat ketika mata besar itu hanya berjarak beberapa senti darinya. Dari sini dia bisa melihat lebih jelas setiap guratan wajah Rama, sisa-sisa jerawat pubernya yang belum sempurna hilang, atau helaian bulu matanya yang ternyata lebat sekali.

"K-kak...," Risa terbata membuka suara. "Aku nggak pernah naik motor." Dia sudah berekspektasi bahwa Rama akan tertawa terpingkal-pingkal dan akhirnya menyuruhnya pulang sendiri.

Alih-alih, cowok itu malah tersenyum simpul yang membuat jantung Risa makin berdegup. Mimpi apa ya semalam? "Kayak naik sepeda kok," ujar Rama. "Duduk biasa aja. Tasmu pangku di depan biar roknya tidak terbang. Terus pegang besi belakang biar nggak jatuh. Coba..."

Risa memantapkan posisinya di jok belakang. Berada sedekat ini dengan Rama membuatnya tegang nyaris tak bisa bernapas. Apa ini ya yang dirasakan Caro setiap dia melihat Miria? Wangi tubuh Rama yang hangat menguar dari kemejanya yang masih licin meski di sore hari.

"Salemba, ready? Go!" Motor itu pun melaju.

Satu kilometer pertama dari sekolah, Risa masih takut karena merasa tidak duduk dengan seimbang. "Kayak naik sepeda kok," tetapi karena kata-kata itu, ia menjadi sedikit lebih tenang. Perlahan, dia mulai menikmati angin sore yang menyisiri wajahnya.

"Langitnya bagus ya!" teriak Rama. Suaranya berlomba dengan deru kendaraan. "Baca artikel O yang waktu terbaik nggak?"

"Baca dong, wajib! Kakak waktu favoritnya kapan?"

"Sekarang...." Risa tersenyum diam-diam mendengarnya. "Petang. Soalnya warna langit lagi bagus-bagusnya."

"Pas banget berarti sama kepribadian kakak ha ha ha."

"Ah masa siihhh? Sehangat matahari senja gitu ya... Terus kalau kamu?"

"Malam sih. Tapi aku karakternya nggak kayak di artikel juga sih."

O! Caro MioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang