22: Side by Side

451 83 24
                                    

RISA kehabisan napas mengejar bus. Sekujur tubuhnya lemas gemetar. Sebenarnya dia bisa menunggu bus selanjutnya toh hanya untuk pulang tidak usah buru-buru, tapi ya tanggung karena sudah di depan mata. Apalagi kepalanya pusing sekali dan badannya terasa lemas.

Sayangnya begitu dia masuk, tidak ada lagi tempat duduk yang kosong. Sampai tiba-tiba seseorang berdiri. Dan orang tersebut adalah Caro.

"Duduk nih," ujarnya menunduk. Sejak Rama menghardiknya, Caro tidak berani mengajak Risa bicara di sekolah. Rasanya juga sudah lama sekali mereka tidak bertemu di bus seperti ini. Rama selalu mengantar gadis itu pulang.

"Arigatou," ucap Risa pelan, dia duduk di bangku tersebut sementara Caro berdiri di depannya.

Mereka tidak saling bicara selama setengah perjalanan. Caro seperti biasa, tertidur--meski dalam keadaan berdiri. Sedangkan Risa sibuk dengan sketchbook-nya. Tak lama, penumpang di sebelah Risa berdiri dan memberikan tempat duduknya untuk murid laki-laki yang tampak begadang semalaman itu.

Namun bukannya melanjutkan tidur, mata Caro malah segar bugar menyala memperhatikan ilustrasi yang sedang dibuat Risa. "Gue selalu kagum sama gambar lo," celetuknya. Risa buru-buru menutup bukunya.

"Okey sorry...," rajuk Caro pelan.

"Ya nggak apa sih, sebenarnya ini juga buat zine O. Pada akhirnya, lo akan lihat juga. Gue-nya aja yang malu kalau dilihatin pas gambar," gerutu Risa. "Ngomong-ngomong soal O... hmm...," Risa membelalak karena dia teringat sesuatu, "...ke mana aja lo kok nggak kelihatan? Gara-gara lo jarang datang, banyak anggota baru yang ikut-ikutan menghilang."

"Percuma gue datang, nggak tahu mau ngapain. Karina saja nggak pernah hubungin gue lagi."

Jelas saja Kak Karina nggak mau ketemu. Dia lagi patah hati sama lo.

Sekarang gantian mata Caro yang membesar. "Kok lo tumben naik bus lagi?"

Ini dialog terpanjang antara mereka berdua dalam sebulan terakhir. "Rama ada latihan lari. Porseni kan sudah makin dekat. Cup juga."

Caro mengangguk-angguk dan kembali mencoba memejamkan mata. Risa selalu menduga anak ini terjaga semalaman untuk belajar. Sejauh ini, Caro belum pernah dapat nilai di bawah 80. Guru-guru sudah membidiknya untuk memperkuat tim OSN, tapi ya tahu sendiri yah Caro tuh gimana, kalau bisa orang tak perlu tahu keberadaannya.

Risa melanjutkan menggambar meski sekarang perutnya mulai terasa mual. Gambar ini harus di-scan dan diwarnai malam ini juga. Salahnya sendiri sih menunda-nunda tugas.

"Satu hal lagi yang gue kagum dari lo," Caro tiba-tiba nyeletuk. Risa buru-buru menutup kembali bukunya. Namun ketika dia menoleh, didapatinya Caro masih khidmat memejamkan mata.

"Lo tuh selalu mengutamakan kepentingan orang lain dibanding diri sendiri," lanjut Caro. "Udah tahu sakit, masih saja mau disuruh pulang sendiri demi Rama bisa latihan. Udah gitu, sekarang lanjut gambar buat zine."

"Gue nggak sakit," kilah Risa.

Pluk! Telapak tangan Caro mendarat di kening Risa. "Yes, you have fever," ujarnya. Seluruh aliran darah Risa bergerak naik berkumpul di kepala.

Belum sempat Risa menyadarkan dirinya, interkom bus memberi tahu bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Caro membuka matanya. "Yuk turun."

Mereka berjalan bersisian menyusuri jembatan, turun, lalu masuk ke dalam gang. Siang itu, banyak sekali orang berkumpul di sana, tapi Caro tidak bersembunyi di belakang tubuhnya seperti dulu. Dia sudah biasa kali ya pulang sendiri...

"Lo masih kuat jalan?" Caro tiba-tiba bertanya.

"Duh ini cewek-cewek pada ngelihatin lo, nggak usah ngajak ngobrol gue dulu," desis Risa. Langkahnya sedikit gontai dan perutnya memang agak mual.

O! Caro MioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang