Vania Larasati

199 21 6
                                    

"Gila nih anak satu."

Vania tidak memperdulikan suara Ghea, sahabatnya yang sejak tadi dibuat geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Bisa nggak sih lo nggak mikirin Kak Renan sedetik aja?" Ghea mendengus, ia merasa seperti terabaikan setiap kali Vania mulai sibuk memikirkan tentang Renan.

Ya, satu-satunya orang yang bisa membuat Vania senyum-senyum sendiri persis seperti orang kesurupan hanya Renan. Kadang kalau suasananya memadahi Vania suka berteriak histeris sambil melompat-lompat kegirangan. Pernah sekali Ghea berniat untuk pensiun menjadi sahabat Vania saat melihatnya sujud syukur di lantai rumahnya. Penyebabnya karena Renan tiba-tiba menelponnya karena disuruh oleh mamanya Vania untuk mengatakan bahwa mamanya nanti tidak ada di rumah. Itu saja. Namun Vania bahagia berlebihan sampai sujud syukur.

Tiga hari tiga malam pun Vania kuat tidak tidur hanya untuk bercerita tentang Renan. Kadang Ghea merasa kasihan juga dengan Vania yang sudah berapa tahun begitu menggilai Renan, namun respon Renan hanya itu-itu saja. Kalau tidak mengusir ya dia yang pergi.

Vania sebenarnya gadis yang cukup cantik, sudah ada belasan laki-laki yang mengantri untuk menjadi pacarnya. Namun tidak ada satupun yang diliriknya. Vania terlalu fokus pada Renan sehingga melupakan kebahagiaannya sendiri.

Bayangkan saja, Vania selalu stand by di depan rumahnya pagi-pagi hanya untuk melihat Renan lewat di depan rumahnya. Paling hanya lima detik hingga Renan sudah tidak terlihat lagi, namun itu seolah menjadi vitamin bagi Vania.

Sekarang Ghea benar-benar yakin bahwa cinta itu buta.

"Lo mah sirik aja. Bayangin Ghe, nanti gue dianter pulang sama Kak Renan. Ya ampun! Gue udah nggak sabar," mata Vania berbinar bahagia.

Ghea membuang muka, bosan mengobrol dengan Vania jika membahas tentang Renan. Bukannya Ghea membenci Renan, ia hanya sebal saja dengan Vania yang tidak sadar-sadar bahwa selamanya Renan tidak akan melihatnya. Vania hanya membuang waktunya yang berharga.

"Terserah lo deh Van. Pusing gue."

Vania tidak lagi menanggapi Ghea. Ia terlalu sibuk membayangkan dirinya nangkring di atas motor Renan. Ini bahkan jauh lebih menyenangkan daripada nonton drama Korea kesukaannya.

Entah sudah berapa tahun Vania begitu terobesi dengan Renan. Yang Vania tahu, sejak Renan menolongnya mengambil lollipop dari anak nakal dulu, Vania selalu ingin dekat-dekat dengan Renan. Meski Renan selalu menolaknya bahkan sejak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, namun Vania sama sekali tidak menyerah. Vania selalu meyakinkan diri sendiri bahwa suatu saat Renan akan menerima dirinya.

Mengejar Renan sudah dijadikan Vania sebagai kebiasannya, tidak peduli banyak orang yang mencemooh, bilang ia perempuan tidak punya harga diri. Vania sama sekali tidak pernah ambil pusing. Baginya yang terpenting adalah bisa melihat Renan kapan pun dan di manapun, itu sudah lebih dari cukup.

Mamanya dulu bilang, bahwa apa yang dirasakan Vania hanya cinta monyet. Namun setelah dipikir-pikir, mana ada cinta monyet yang bertahan sampai bertahun-tahun? Apakah ada cinta monyet yang benar-benar tulus seperti yang ia rasakan? Vania berani bersumpah, ia rela tidak makan satu hari hanya untuk melihat senyuman cerah Renan selama satu menit. Vania akui ia memang sudah gila, bahkan sejak masih kecil ia sudah gila karena Renan.

"Ge? Kalau gue culik Kak Renan, menurut lo gimana?"

~°~

Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Vania sudah berdiri dengan perasaan berbunga-bunga di samping motor Renan. Ia datang jauh lebih cepat dari janjinya. Sejak tadi, Vania tidak bisa fokus pada pelajaran yang sedang dijelaskan oleh gurunya. Pikirannya sepenuhnya berkelana ke mana-mana. Hingga akhirnya ia memutuskan sedikit berbohong pada gurunya sepuluh menit akhir pelajaran, bahwa perutnya sakit. Tanpa curiga sedikit pun, guru tersebut memperbolehkan Vania pulang lebih awal. Ya, perut Vania sakit karena tidak sabar melihat jam yang terasa sangat lamban.

You Are The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang