Surat

153 18 4
                                    

"Heh! Rok lo kurang bahan ya?!"

Perempuan yang mendengar teguran keras Nesha, langsung menoleh. Ia menghela napas panjang, menyiapkan diri untuk mempertebal telinganya yang sebentar lagi akan menerima ceramah. Temannya yang penampilannya tidak jauh beda dari perempuan itu juga meneguk ludah, namun setidaknya roknya sedikit lebih panjang.

Nesha berjalan tegas ke arah mereka, matanya menatap tajam sambil terus memperhatikan penampilan dua perempuan yang kini menatapnya ngeri.

"Kalian buta ya? Nggak lihat ada tulisan peraturan segede gajah di belakang kalian?"

Tidak ada jawaban keduanya kompak diam—lebih ke berusaha mengabaikan.

"Semaunya aja kayak sekolah ini punya sendiri. Ngerasa cantik kalau pakai rok kurang bahan?! Kalau nggak punya uang buat beli seragam bilang, nanti gue adain sumbangan buat kalian."

Mendengar kata-kata Nesha yang terang-terangan menghina, salah seorang perempuan memberanikan diri untuk menatap mata Nesha. "Lo kalau ngiri bilang aja! Nggak usah pakai jabatan lo, dasar pecundang."

"Nah ini nih, udah nggak punya malu, bodoh lagi. Apa gunanya jabatan gue kalau kalian bisa seenaknya sendiri? Kasihan gue sama kalian, sekolah bertahun-tahun percuma. Baca peraturan aja nggak bisa. Sok-sokan mau jadi bad girl." Nesha menatap keduanya dengan kening berkerut jijik. "Terakhir kali kalian ngukur badan kapan sih? Waktu bayi? Sekali-kali baca buku biologi makanya, jadinya tahu kalau manusia itu mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Nggak pernah baca buku sih, makanya bodoh."

Wajah kedua perempuan itu memerah, tapi mereka tidak bisa melawan atau akan diskak mat lagi. Nesha tersenyum miring melihat wajah kedua perempuan di depannya seperti kepiting rebus.

"Rosaline Farah sama Amanda Resti. Oke bakal gue inget nama kalian. Percuma nama bagus kalau nggak ada otaknya."

Nesha menyempatkan untuk tersenyum manis sebelum berlalu pergi. Stres juga sebenarnya setiap hari harus menghadapi tingkah murid yang tidak bisa diatur. Kadang saking banyaknya teriak-teriak, marah-marah, Nesha jadi sering jatuh sakit. Untung ada ayahnya yang siap siaga dua puluh empat jam jika terjadi apa-apa dengannya, kalau tidak susah dipastikan Nesha sejak dulu melepaskan jabatannya.

Baru juga sepuluh langkah dari Rosaline dan Amanda, Nesha yang berjalan dengan langkah lebarnya terpaksa berhenti saat ada seorang laki-laki berkacamata menghadangnya. Laki-laki itu terlihat gugup, sesekali ia membenarkan kaca matanya yang melorot.

"K-kak Nesha. Em.. Ak-aku—"

Nesha gemas sendiri menunggu laki-laki itu bicara. Segera dipotongnya ucapan laki-laki itu. "Heh! Kalau ngomong tuh yang jelas! Gue dengernya jadi kaya monyet yang ngomong tahu nggak lo?!"

Laki-laki itu menarik napas panjang, menguatkan diri untuk mengambil langkah yang lebih berani. "Ini buat kakak."

Mata Nesha melebar, bukan hanya karena melihat amplop berwarna pink yang disorkan laki-laki itu kepadanya, namun juga karena perkataan laki-laki di depannya yang terlalu cepat. Sekilas Nesha melirik badge name laki-laki itu. Andra Maulana S.

"Lah, lo ngapain kasih gue surat? Lo pikir ini masih zaman nenek buyut lo apa?"

Rasanya untuk menelan ludah saja sangat sulit bagi Andra. Ia memejamkan matanya sejenak. Sepertinya semua yang dilakukannya salah dimata Nesha. "Aku taruh di sini," Andra meletakkan amplop berwarna pink itu beberapa senti di depan sepatu Nesha. "Terserah kakak mau ambil apa enggak."

Setelah itu Andra buru-buru pergi, tidak kuat juga lama-lama dihujani tatapan tajam Nesha.

"Hei! Gue nggak mau terima. Ambil nggak nih surat!"

You Are The ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang