Akhir cerita ayah

24 0 0
                                    

Jakarta. Kota ini selalu macet. Aku memandang ke arah jam dinding UGD. Sudah pukul 7 malam. Pekerjaan ku sudah selesai sejak tadi selesai mengoperasi pasien. Aku mengambil tas punggungku dan berjalan ke arah luar. Satu dua orang perawat menyapa ku. Suasana kerja di rumah sakit ini menyenangkan. Apartemen ku tak jauh dari rumah sakit sekitar 200 meter. Itu kutempuh hanya dengan berjalan kaki. Angin malam menyapu lembut wajah ku. Sedang tidak ada bulan. Ponselku bergetar. Itu dari kakak ku.

"Halo, Assalamualaikum" suara kakak ku terdengar serak

"Walaikumusalam"

"Adiba, Ayah. Ayah pergi" suara itu terdengar parau

"Ayah pergi kemana?" tanya ku meminta penjelasan. Padahal aku sudah lebih dari mengerti maksud itu.

"Allah menyayangi Ayah" kakak ku menangis. Aku menangis. Lututku lemas tak mampu berdiri.

"Adiba? Kau masih disana?" kakak ku memastikan

"Ku harap kau mendengar, aku telah membelikanmu tiket pesawat besok pagi. Penerbangan pertama, detailnya aku kirim lewat e-mail. Bertahanlah Adiba" aku mendengar perkataan kakak ku.

"Tidak bisakah malam ini saja kak?" tanya ku

"Tidak bisa, Adiba. Tiketnya sudah habis" aku terdiam

"Ayah akan dikubur besok saat kau sudah ada disini. Tenanglah, Adiba" kakak ku berusaha tegar dan menguatkan ku. Aku hanya diam. Tak mampu menangis. Lemas. Aku berjalan ke apartemen. Duduk dipinggir jendela menatap kota Jakata dengan lampu yang kerlap-kerlip. Tak terasa air itu jatuh dari ujung mata ku. Aku menangis. Aku tidak bisa bertahan hingga esok pagi. Tidak bisa. Aku menangis malam itu lalu tertidur dengan tangisan itu. Malam itu begitu pahit untuk ku. Jum'at malam itu, ayah meninggalkanku, kakak, dan ibu.

.......

Pagi itu masih gelap, aku menatap ke arah luar jendela pesawat. Tak sabar untuk segera sampai di Sumbawa. Harap-harap cemas. Tepat pukul 8 pagi pesawat ini mendarat di Bandara Lombok. Aku keluar pesawat dengan cepat lalu melapor ke bagian transit lalu berpindah ke pesawat yang lebih kecil. 30 menit berselang, pesawat kecil itu mendarat dengan mulus. Aku hanya membawa satu tas ransel. Kak Dian sudah menunggu ku. Kak Dian kak iparku, istri kak Faiz. Kulihat matanya sembap, habis menangis. 10 menit aku sampai dirumah. Ayah sedang dikafankan. Itu terakhir kalinya aku melihat wajah ayah. Tenang. Ayah terlihat seperti tidur biasa. Wajahnya tenang. Aku tidak menangis. Tidak karena tidak ingin melihat ibu semakin bersedih. Aku mengusap punggung ibu. Wajah ibu muram. Sorot matanya menandakan kesedihan nya. Biarlah ibu bersedih hari ini, esok lusa aku yakin ibu akan bangkit lagi. Siapa pula yang tidak bersedih saat kehilangan orang yang ia sayangi. Orang yang menemaninya berpuluh-puluh tahun. Orang yang menjadi tempatnya bersandar, menjadi pendengar yang baik, menjadi ayah yang baik, menjadi suami yang baik, mendengar semua keluh kesah nya.

Siang itu pukul 10 pagi, gundukan merah basah berada dihadapan kami. Nisan bertuliskan nama ayah. Aku menabur bunga di pusara ayah. Tangis ibu pecah saat ayah dikubur. Lalu, lebih banyak terdiam saat kubur itu sudah sempurna tertutup. Hingga saat ini, aku masih kuat untuk tidak menangis. Kak Dian sejak tadi sudah menangis. Kak Dian teringat saat ia dan kak Faiz dalam kesusahan. Mereka terlilit hutang, ayah dengan baik melunasi hutang mereka dan memberi tempat tinggal yang nyaman bagi mereka. Sejak saat itu, kak Dian dekat dengan ayah. Ayah memiliki dua anak gadis sejak saat itu. Kak Dian tenggelam dalam dekapan kak Faiz. Kak Faiz menyeka ujung matanya,melepas kacamatanya. Ia harus kuat, menguatkan istrinya. Aku menguatkan ibu.

"Adiba" seorang menyapa ku. Itu Rashda. Disampingnya seorang perempuan berambut panjang ditutupi dengan selendang.

"Aku turut berduka. Ayahmu pasti sedang tersenyum melihatmu tidak menangis sedikitpun. Bahkan menguatkan ibumu"

"Terima kasih, rashda" ucapku. Sungguh saat ini aku sedang tak ingin bertemu Rashda. Aku tidak peduli siapapun wanita itu.

"Ibu, ayo kita pulang" aku mengangkat pundak ibu. Ibu mengangguk. Para pelayat sudah sepi sejak tadi. Ibu merangkul lenganku berjalan beriringan. Sesampainya dirumah, aku mengantar ibu ke kamar. Wajahnya lelah menangis seharian. Ibu tertidur pulas setelah aku menyuapinya makanan. Tak ingin ibu jatuh sakit. Aku menutup pelan pintu kamar ibu.

"Adiba" itu suara kak Dian

"Menangislah nak. Wajahmu menahan tangis sejak tadi. Biarkan kakak memelukmu" Kak Dian memelukku. Tangisku pecah dalam dekapan kak Dian.

"Menangislah, Adiba. Setelah itu, jangan pernah menangis lagi. Ayah sudah bahagia. Kau tahu sore kemarin ia menceritakan semua hal tentangmu. Ayah mengatakan kau anak gadisnya yang terbaik. Kau anak yang penurut. Kau anak yang kuat. Kau gadis yang cantik. Kau adalah cinta ayah yang kedua setelah ibu. Nanti, apapun yang akan kau tahu jangan pernah menyesalinya sedikitpun. Jangan" kak Dian membisikkan pesan ayah. Ia sudah tidak menangis. Ia lebih tenang. Justru aku yang menangis sesegukan mendengar bisikan itu. 10 menit aku memeluk kak Dian, melepas semua rasa kesedihanku.

"Kau memang gadis yang kuat" kak Faiz mengusap pundakku.

"Ini ada surat dari ayah" kak Faiz memberiku sebuah amplop kecil berwarna marun.

PenuhWhere stories live. Discover now