Aku menarik kertas didalam amplop itu. Ada lima foto juga didalamnya. Foto saat aku TK, SD, SMP, SMA dan S1 ku. Aku menangis. Kelima foto itu menampilkan aku dan ayah tersenyum lebar. Aku membuka lipatan surat itu dan mulai membaca
"Assalamualaikum, anak gadis ayah. Cinta kedua ayah...
Setiap hari, ayah bersyukur pada Allah karena telah dikirimkan malaikat kecil, Adiba Hilya Nuha.
Terima kasih telah melakukan impian ayah memiliki anak seorang dokter. Kau dokter yang hebat, Adiba." Aku menangis"Kau adik yang hebat bagi Faiz. Kau juga anak yang hebat.Ku harap suatu saat, kau juga menjadi istri dan ibu yang hebat. Maafkan ayah mu ini terlalu lemah tidak bisa bertahan. Maafkan ayah tidak bisa berjabat tangan dan mengucapkan ijab dengan suami mu kelak. Maafkan ayah tidak meninggalkan warisan yang banyak untukmu" Tidak, ayah, kau mewarisi ketulusan hatimu. Kau mewarisi banyak hal yang tak akan ternilai dengan materi.
"Aku menyayangimu, Adiba. Jika seseorang tidak menyukaimu, biarkan saja. Teruslah berbuat baik, sayang. Berjanjilah, jika ayah meninggalkanmu lebih dulu, jangan menangis" Maaf ayah, aku tidak bisa. Aku menangis, ayah.
"Berjanjilah untuk tidak menangis dihadapan ibu. Berjanjilah tidak akan menyalahi dirimu saat membaca kalimat setelah ini. Maafkan ayah yang menyembunyikan sakit ayah setahun belakangan. Jangan menyalahkan dirimu. Jangan menyalahkan Faiz, Dian terlebih lebih ibu. Ayah terkena gagal ginjal. Kau tetaplah dokter yang hebat." Aku bukan dokter yang hebat lagi ayah, aku gagal menjadi seorang anak.
Kau tahu, Adiba? Ada seorang laki-laki yang baik hatinya mengurus ayah. Siang malam menemani ayah cuci darah. Dia bukan dokter, bukan. Dia laki-laki yang baik. Ayah punya firasat dia menyukaimu. Semoga kalian berjodoh. Semoga. Adiba, berhenti menangis. Ayah meninggalkan semua dengan bahagia. Ayah baik-baik saja. Ayah hanya ingin bertemu Allah duluan agar ayah punya banyak waktu bercerita dengan-Nya tentang malaikat ayah yang Allah kirimkan di dunia. Agar nantinya ayah lah yang pertama menyambutmu, nak. Semoga Allah mempertemukan kita kelak di surga-Nya. Ayah menyisipkan satu surat untuk siapapun yang akan menggantikan posisi ayah sebagai pelindungmu. Berjanjilah kau tidak membacanya. Ayah mencintaimu. Sungguh, mencintai sepenuh jiwa dan raga ayah. Tetaplah menjadi gadis yang baik anak bungsuku" Surat ayah selesai kubaca, surat itu basah terkena air mata ku.
Ayah, kau sungguh ayah terbaik. Aku sungguh merindukanmu. Surat itu kusimpan dalam tas dengan baik. Aku menyeka air mataku. Aku masih menangis lima menit setelah selesai membaca surat itu. Malam itu aku lebih tenang setelah membaca surat ayah. Malam itu mungkin menjadi malam yang sunyi di keluarga kamu. Semua orang termenung didalam kamar masing-masing. Ibu sedang sholat tahajud, mendoakan ayah. Ibu wanita yang hebat. Kak Faiz dan kak Dian sudah tidur. Lebih tepatnya memaksakan untuk tidur. Aku sendiri sedang duduk menatap ke arah bingkai foto yang menampilkan wajah ayah, ibu, aku dan kak Faiz saat sumpah dokterku. Pikiranku kembali ke masa lalu. Masa saat ayah menggendongku, mendekapku dalam pelukannya, mencium pipi ku yang masih chubby. Lebih tepatnya tentang masa kecil ku. Aku mencintai ayah, namun Allah lebih mencintai ayah. Cinta-Nya kepada ayah melebihi cinta ibu pada ayah ditambah cinta kak faiz dan kak dian pada ayah ditambah cinta ku pada ayah beratus-ratus kali lipat. Kami semua termenung di kamar masing-masing dengan keyakinan yang sama.
Sedih boleh saja-saja asal kau tau batasannya
YOU ARE READING
Penuh
RomanceBelajar kehidupan tidak bisa melalui teori atau membaca novel fiksi. Kau harus merasakan sendiri. Rasanya kehilangan, tidak dicintai, mengikhlaskan, manis dan getirnya hidup. Ada banyak hal yang akan kau pahami sendiri setelah kau terjun sendiri. Hi...