Tears

1.3K 59 2
                                    


Part 1

"Selamat pagi, Levi..." ucap Petra sambil tersenyum hangat. Matahari pagi menyinari wajahnya yang manis. Di tambah angin yang bertiup dengan perlahan, menggoyangkan rambut oranye-nya. Aku tersenyum hambar, lalu aku menghilangkan senyumanku, kemudian mendekatinya.

"Berhentilah tersenyum, senyumanmu membuatku kesal..." ucapku sambil meletakkan baki makanan di depannya. Kemudian aku duduk disampingnya.

"Tehehehe..." cengirnya. Kali ini ia tertawa kecil.

"Makanlah..." ucapku dingin sambil membuang pandanganku. Ia tersenyum, kemudian mengambil sendok dari atas baki.

"Terima kasih Levi..." aku menoleh. Ia sedang menyendokkan makanannya kemulutnya. Kemudian ia mengunyahnya.

"Ada apa?..." tanyanya saat menyadari aku tak berhenti menatapnya. Aku menghela nafas.

"Makanlah dengan benar. Aku akan pergi sekarang..." ucapku sambil bangkit berdiri dari kursi.

"Kau mau pergi sekarang?..." ucapnya sedikit kecewa. Aku menatapnya.

"Ini sudah jam 08.45, Petra. Bagaimana kalau aku terlambat?..." tanyaku kesal. Ia menatapku sedih.

"...Baiklah. Maafkan aku,.. dan berhati-hatilah di jalan..." ucapnya sambil tersenyum sedih. Aku mengepalkan tanganku.

"...aku tahu..." ucapku sambil berbalik meninggalkannya. Aku membuka pintu, kemudian menutupnya. Lalu aku menyandarkan punggungku pada pintu.

"..sial.."

***

Klek

Aku membuka pintu dan berjalan masuk sambil membawa sekantung makanan di tanganku. Aku berhenti. Ia sedang tidur. Aku kembali berjalan. Kali ini perlahan-lahan. Takut membangunkannya. Mengapa ia tertidur seperti itu? Aku duduk di kursi di sampingnya. Ia sedang tertidur di atas kursi. Dasar, dia bisa masuk angin kalau tidur seperti ini. Kubuka jaket yang kukenakan, lalu kusampirkan di tubuhnya. Kemudian aku menatapnya selama beberapa saat.

Wajahnya tertidur sangat pulas. Kelopak matanya terkadang bergerak perlahan. Rambut pendeknya berkibar lembut ditiup angin, menutupi sebagian matanya yang tertutup. Aku menjulurkan tanganku, berusaha menyalipkan rambutnya di belakang telinga.

"...Ayah..." ucapnya samar. Tanganku berhenti bergerak. Kemudian aku menarik tanganku kembali.

"...ada apa denganmu, bodoh?..." ucapku pelan sambil mengepalkan tanganku. Ia pasti merindukan Peter, ayahnya.

"...Levi..." ucapnya lagi sambil meneteskan air mata. Aku terdiam, lalu menatap wajahnya.

"...apa?..." tanyaku sambil menghapus air matanya yang mengalir. Saat itu juga matanya terbuka perlahan.

"..ng?.. Levi?..." tanyanya sambil berusaha mengembalikan kesadarannya. Aku menarik tanganku cepat "...kau sudah datang..." ucapnya sambil tersenyum senang. Aku menatapnya tajam.

"...apa yang kau lakukan disini?.. bagaimana kalau kau masuk angin?..." tanyaku dingin sambil menatap matanya. Ia tersenyum.

"...tehehe... maafkan aku... aku hanya ingin kau memarahiku,..." ucapnya sambil tertawa kecil. Hatiku rasanya seperti ditusuk jarum.

"...kau..." ucapku geram. Ia tersenyum. Aku terdiam, kemudian menghela nafas.

"Cepat kembali ke tempatmu, dan jangan pernah lagi tidur disini..." ucapku dingin sambil memutar kursi yang ia duduki. Ia tertawa kecil, kemudian menyentuh tanganku.

"...kau tidak perlu semarah itu, Levi..." ia tersenyum lagi. Ingin aku membunuh diriku sendiri.

"..."

"...kalau begitu bantulah aku. Kau tahu sendiri kan bagaimana keadaanku?..." ucapnya sambil memperlihatkan giginya. Aku menghela nafas, kemudian mengangkat tubuhnya.

"Uwaaa... apa yang kau lakukan, Levi??.." tanyanya bingung sambil menatapku. Aku menatap lurus, tak memperdulikan protesnya.

"...Le.. Levi, bagaimana kalau nanti aku jatuh?..." tanyanya sambil melingkarkan tangannya di pundakku. Ia menatapku khawatir.

"Diam..." ucapku tak menghiraukannya. Aku melangkah sambil menggendongnya, setelah itu, aku meletakkannya di atas kasur.

"...Levi, itu tadi sedikit mengejutkan. Dan sampai saat ini jantungku masih berdegup kencang..." ucapnya sambil memegang dadanya. Aku menatapnya, kemudian mengambil kantung yang tadi kubawa.

"Makanlah..." ucapku sambil menyodorkan kantung itu kepadanya. Ia menatapku sejenak, kemudian tersenyum.

"Terima kasih.." ucapnya sambil tertawa. Aku mengepalkan tanganku lagi.

"Bisakah kau berhenti untuk tertawa, Petra. Kau membuatku kesal..." ucapku dingin sambil membuang wajahku.

"Tidak bisa..." ucapnya sambil membuka kantung yang kuberikan "...kalau aku pergi, apa yang akan kau ingat tentang diriku? Semakin lama, ingatan seseorang akan semakin melemah. Tapi, semua orang pasti mengingat senyuman, tak peduli siapapun itu. Jadi setidaknya, kau masih bisa mengingat senyumanku..." ucapnya sambil tersenyum lagi. Aku mengepalkan tanganku.

"Bagaimana kalau kau tidak pergi?..." ucapku tanpa sadar. Ia berhenti mengeluarkan isi dari kantung yang kubawa, lalu ia menatapku, kemudian tersenyum, lagi.

"...Levi, bukankah kau sudah mendengar kata dokter? Harapan hidupku sangatlah tipis. Seandainya keajaiban itu benar-benar ada, aku hanya ingin agar kau bahagia..." ia menatap ujung kasur, kini senyumannya telah hilang.

"Aku tak percaya pada keajaiban. Tapi jika hal itu benar-benar ada, aku hanya ingin kau sembuh. Kebahagiaanku adalah saat bersamamu..." ucapku sambil menatapnya. Ia sedikit terkejut, kemudian tersenyum.

"Levi, ini pertama kalinya kau mengatakan hal itu padaku..." ia tersenyum lembut. Aku memalingkan wajahku.

"...aku serius, Petra..."

"...aku tahu..."

Kami terdiam selama beberapa saat, kemudian seorang dokter muda masuk ke dalam ruangannya.

"Nona Ral, ini saatnya waktu pemeriksaan" ucap dokter itu sambil tersenyum kepadaku. Aku balas senyumannya dengan senyuman pahit.

"...baiklah. Sampai jumpa besok, Levi. Berhati-hatilah di jalan..." ia tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku berbalik, tak memedulikan salamnya.

***

"Hai, Levi. Bagaimana kabar Petra?.." tanya Hanji sambil menyampirkan lengannya di bahuku. Aku menatapnya tajam.

"Oke oke, aku tahu. Jangan marah. Aku hanya bertanya..." ia menarik lengannya sambil memperlihatkan giginya. Aku menatap kembali bukuku.

"...ngomong-ngomong, apa sebenarnya penyakit yang... di derita Petra?..." tanyanya perlahan sambil menatapku. Ia menatapku dengan khawatir, takut menyinggung perasaanku.

"Diamlah Hanji, kau terlalu ingin tahu..." Ucapku sambil melipat bukuku. Aku memasukkannya ke dalam tas. Ini sudah jam pulang sekolah. Saat untuk mengunjungi Petra di rumah sakit.

"Um.. oke. Maafkan aku, sampai besok ya..." ucapnya sambil melambaikan tangan. Aku tak menghiraukannya.

***

Goodbye (Rivetra)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang