Reality

469 39 0
                                    

Part 4

"Kau mau terus menerus melamun disini? Ini sudah jam sebelas malam. Aku yakin pacarmu itu sedang menunggumu di sana..." ucap Mikasa sambil membereskan meja makan. Aku menatapnya sejenak, kemudian menghela nafas.

"Diamlah, Mikasa..."

"Kau menyuruhku diam? Kau tahu? Kau benar-benar mengganggu. Bagaimana mungkin kau meninggalkan pacarmu sendirian disana sedangkan kau disini--"

"SUDAH KUBILANG DIAM!!" Teriakku padanya. Ia tersentak. Kemudian mengerutkan keningnya.

"Kau pikir aku takut padamu, cebol? Asal kau tahu, semuanya takkan selesai jika kau atau dia saling menghindar satu sama lain. Lagipula--"

"...Mikasa?" Eren membuka pintu "...ada apa? Apa terjadi sesuatu?.." tanya Eren sambil melangkah masuk mendekati Mikasa. Aku memalingkan wajahku.

"...tidak, Eren. Tidak terjadi apapun disini. Sekarang ayo kita tidur..." Mikasa mendorong Eren keluar ruang makan.

"...tapi.."

"Levi, sekarang pulanglah. Kami akan tidur..." ucap Mikasa sambil menutup pintu. Aku menutup mataku, kemudian berdiri. Dia benar.

Aku harus menemui Petra sekali lagi.

***

"Maafkan saya, Tuan. Tapi nona Petra tidak mengizinkan siapapun tahu ruangannya.." ucap suster itu sambil menggeleng lemah. Aku menghela nafasku. Ini sudah kelima kalinya aku memohon padanya. Bagaimana mungkin? Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Petra? Aku mengepalkan tanganku. Kemudian aku berbalik dan melangkah menjauhi meja resepsionis.

Aku menyentuh keningku. Sial... bagaimana aku harus menemukan Petra? Aku menatap pantulan diriku di cermin toilet. Tampak wajah sayu dan lemah disana. Aku menggertakkan gigiku. Kau benar-benar lemah, Levi Ackerman. Bagaimana mungkin kau tidak dapat menemukan gadis yang kau cintai? Kau bahkan tidak dapat mencegahnya dari kematiannya.

Tunggu. Gadis yang kau cintai? Aku mengangkat wajahku. Apakah aku mencintai Petra? Aku menatap pantulan diriku sendiri di cermin.

Benar, pria bodoh. Kau mencintainya. Bagaimana bisa kau baru menyadarinya setelah sebelas tahun berlalu? Ucap diriku sendiri di cermin.

"...tapi.. aku..."

"...tapi.. aku..."

Diamlah. Dan sekarang, kau saja bahkan tidak bisa menemukannya. Kau berkata kalau kau mencintainya? Yang benar saja. Ucap bayangan itu lagi.

"diamlah kau, bayangan brengsek..." ucapku sambil mengepalkan tanganku.

Apa? Aku benar kan? Oh ayolah. Aku adalah dirimu sendiri. Aku bahkan berani menyatakan kalau aku mencintainya. Dan kau? Jangan membuatku tertawa..

"Kau..."

...Levi...

Aku tersentak. Petra? Aku menatap sekelilingku. Apa itu hanya khayalanku? Petra memanggilku? Aku menyentuh keningku.

"...aku pasti sudah gila..." ucapku sambil tersenyum pahit.

...Levi...

Tiba-tiba bayangan Petra yang menangis terlintas di benakku.

"...Levi..." ucapnya lagi sambil meneteskan air mata. Aku terdiam, lalu menatap wajahnya.

"...apa?..." tanyaku sambil menghapus air matanya yang mengalir. Saat itu juga matanya terbuka perlahan.

"..ng?.. Levi?..." tanyanya sambil berusaha mengembalikan kesadarannya. Aku menarik tanganku cepat "...kau sudah datang..." ucapnya sambil tersenyum senang. Aku menatapnya tajam.

"...apa yang kau lakukan disini?.. bagaimana kalau kau masuk angin?..." tanyaku dingin sambil menatap matanya. Ia tersenyum.

"...tehehe... maafkan aku... aku hanya ingin kau memarahiku,..." ucapnya sambil tertawa kecil. Hatiku rasanya seperti ditusuk jarum.

"...kau..." ucapku geram. Ia tersenyum. Aku terdiam, kemudian menghela nafas.

"Cepat kembali ke tempatmu, dan jangan pernah lagi tidur disini..." ucapku dingin sambil memutar kursi yang ia duduki. Ia tertawa kecil, kemudian menyentuh tanganku.

"...kau tidak perlu semarah itu, Levi..." ia tersenyum lagi. Ingin ku membunuh diriku sendiri.

Aku ingat. Aku selalu memarahinya. Aku bahkan belum meminta maaf padanya. Aku menatap diriku sendiri lagi di cermin. Aku menangis.

"...apa..?..." aku menyentuh wajahku. Aku menangis? Yang benar saja. Aku menghapus air mataku, kemudian aku mencuci wajahku di wastafel.

Aku harus menemukan Petra. Harus.

Aku melangkah keluar dari toilet. Tiba-tiba, aku melihat seoramg dokter. Aku kenal dokter itu. Ia dokter yang sebelumnya pernah merawat Petra. Benar. Ia dokter yang merawat Petra.

Aku melangkah mendekati dokter itu.

"Um.. permisi.." ucapku sambil menghentikan langkah dokter itu. Dokter itu menoleh. Ia terlihat panik.

"Bukankah Anda yang..." ucapanku terhenti. Dokter itu menyentuh kedua bahuku.

"Kau... kau pria yang sering bersama dengan gadis itu bukan? Gadis di ruang A6?..." tanya dokter itu dengan nafas yang memburu.

"...iya. itu.. saya... ada apa, Dokter?.." tanyaku sambil menatapnya heran. Ada apa dengan orang ini?

"Ikut denganku" ucap dokter itu sambil berjalan mendahuluiku. Apa-apaan ini?

***

Goodbye (Rivetra)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang