part 3

2.2K 99 3
                                    

"Ve, kakak taruh sini makanannya yah?" 

"Oh, lampu belajarmu sepertinya sudah tidak layak, besok kakak kesini lagi bawa yang baru." 

"Vea!!! Ada kecoaaa!!!!!" 

Seperti itulah kelakuan kakak perempuanku, Zea Caroline. Selalu saja membuatku pusing dengan kecerewetannya. Cocok dengan pekerjaannya sebagai penyiar radio. 

"Kak, jangan berisik!! Pusing nih." Keluhku sambil menghampirinya yang berada di kamar kos-ku. Ya, aku memang nge-kos untuk sekolah disini. 

"Kenapa gak minta Papa buat beliin kamu apartemen aja, dek? Kakak jadi sedih liatnya." Katanya sambil menatap sekeliling kamar kos-an ku. 

Memang, kamar ini tidak terlalu besar, bisa saja aku meminta Papa buat beliin apartemen, tapi ini salah satu bentuk perubahanku dari masa lalu. Tempatku ini juga bersih dan nyaman untuk ku tinggali selama tiga tahun ke depan.  

"Gak usah berlebihan, kak Ze." Cibirku. 

"Ve, mau sampai kapan kamu seperti ini? kembalilah seperti dulu. Tinggalah bersama kami lagi, Ve."  

Kak Ze, tahu semuanya. Dia kakak keduaku yang selalu ku jadikan teman curhat dari semua masalahku. Termasuk masalah yang membuatku menjadi seperti ini. 

"Gak kak, aku akan menyelesaikan sekolahku disini dan tinggal disini untuk sementara waktu." Ucapku dingin. 

"Dia selalu datang ke rumah untuk meminta maaf Ve." Kak Ze membuang wajahnya keluar jendela dengan wajah yang terlihat sedih. Dia memang sangat menyayangiku. 

"POkoknya kakak jangan bilang aku disini. Bilang ke Mama, Papa, juga Kak Bian."  

Tidak mudah untuk mendapatkan maafku, apalagi sudah membuatku sakit hati.  

"Hm, baiklah. Tapi apa tak sebaiknya kalian bicara berdua..." 

"Tidak, Kak! Lebih baik kakak jangan bahas dia lagi di depanku. Aku muak!"  

Kak Ze terkejut dengan teriakanku itu. ia memelukku erat dari samping. 

"Maafkan Kak Ze, Ve." 

__oOo__ 

sejak kedatangan Kak Ze tempo hari lalu, pikiranku jadi bercabang, memikirkan apa yang ia katakan saat itu. 

untuk apa pria itu datang untuk meminta maaf? Bukankah dia sendiri yang bilang kalau dia tidak akan meminta maaf padaku? 

Dengan lantangnya ia mengatakan kalau akulah biang kerok masalahnya, sehingga ia ingin aku meminta maaf padanya juga wanita itu? 

Cih,  

"Ve, kamu lagi ngegambar atau lagi emosi?" 

Aku terkejut dan menolehkan kepalaku ke samping. Disana ada Richo yang sedang terperanagah melihat hasil gambaranku.  

"Ini... siapa, Ve? Pacar kamu?" tanpa sadar Richo sudah mengambil buku gambarku. 

Aku ikut mengamati hasil gambarku. 

"Apa?!" teriakku, lalu secepat mungkin mengambil paksa dari tangan Richo. 

"Eh! Gak bisa! Ini siapa Ve?" 

Kenapa aku bisa menggambar wajahnya????? 

Bodoh! 

"BUkan siapa-siapa! Cepat kembalikan, Ric!" kataku sambil berusaha mengambil kembali buku ku dari genggamannya. 

"Kalau bukan siapa-siapa kenapa wajahnya pucat begitu, Ve?" 

Wajahku pucat? Benarkah? 

"Jangan mengada-ada, Richo! Kembalikan!!!" teriakku tapi masih tak digubrisnya. Untung guru yang mengajar jam pertama ini sedang rapat, jadilah aku bebas berteriak sekeras apapun. Teman-temanku juga masa bodoh. 

"Eh, tapi wajah ini tidak asing untukku ya?" aku terdiam memandang Richo yang tengah mengamati dalam gambaranku itu. 

"Ma-maksud kamu?" 

"Ini... Mas Reyhan. Ya, persis!"  

Richo?? Mengapa bisa ia tahu? 

"Kamu tahu?" tanyaku langsung. 

"Jadi ini... mAs Reyhan, Ve?" tanyanya tak percaya. 

Aku menganga penuh keterkejutan. Apa Reyhan yang dia maksud sama dengan Reyhan... 

"Yang kamu maksud Reyhan siapa, Ric?" tanyaku lirih dengan keringat dingin yang mulai muncul, berharap... 

"Reyhan Sebastian Mahestra." 

Sama!  

"Dia kakak sepupuku, Ve. Kamu kenal dia dimana?" 

Aku tak menggubris pertanyaan Richo. Bagaimana kalau aku kembali bertemu dengannya? Aku tidak mau itu terjadi. 

"Ve, ada apa?" tanyanya dengan raut cemas menatapku. 

"Aku.... " 

Apa aku harus memberitahu Richo? 

"Kenapa?" tanyanya lagi. 

"Iya itu memang dia." gumamku pelan. 

"Wah, dunia meamng sempit sekali. Kau mau main ke rumahku? Dia sedang berkunjung di rumahku."  

Apa?????!! 

"GAk!!" jeritku. 

"Ve..." 

"Ric, please. Dia itu...." aku kembali ragu untuk mengatakannya. 

"Ahh! Kamu jangan beritahu dia aku berada disini!" ujarku lalu melesat pergi keluar kelas. 

Tidak mungkin Tuhan kembali mempertemukan aku dengannya dalam waktu yang begitu cepat. Aku butuh sendiri tanpa ada baying-bayangnya. Mencoba menghilangkan ingatan tentangnya. 

__oOo__ 

Hehe,,map bru sgini dulu yak... 

Ditunggu vomennya ^^ makasih ... see you ^^

IntrovertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang